Dunia ini bagaikan sesobek brokat,
ilustrasi mencengangkan diawal dari sebuah buku yang teramat bagus. Berangsiapa
percaya ditempat ini segalanya ber-“ada”, biar ia atau dia diberi nama : “Ratu
dunia!”
Wahai tubuh! Telah sangat lama kau perbudak
begitu banyak lelaki merdeka! Berhentilah berkomplot barang sejenak. Bebaslah
dari dirimu sejurus sebelum kau mati.
Atau jika kau serupa keledai kelebihan
beban, atau timba tua yang tak mungkin pergi kecuali jatuh, maka tinggalkan
ruhku sendirian!
Dapatilah seorang teman lain. Aku selesai
memainkan permainanmu. Akali seorang yang lain. Ucapkan selamat tinggal padaku.
Telah kau renggut hampir semua hidupku. Temukan (lagi) korban lain. (inilah)
yang mengingatkanku pada kisah si Guntur dan istrinya—saban tahun mereka jatuh
miskin,
Guntur menghampiri istrinya dan berkata:
“Sayang, kau masih punya perangkap dan
daya tarik utuh. Pergi, dan tangkap seekor buruan. Pasanglah jerat buat seekor
burung besar! Pamerkan umpan, tapi jangan berikan. Biar dia tahu apa yang dia
hasrati, tapi kecewakan dia. Biar dia lihat apa yang diinginkannya dari dalam
perangkap!”
Maka istrinya mendatangi hakim setempat.
“Tuan, suamiku tak mau menafkahiku
sebagaimana mestinya, dia tak berikan apa yang ku butuhkan.”
Itulah cara ia memulai, dan singkat cerita
sang hakim kecantol oleh lagak lugunya yang kenes dan genit. Dia tertarik
padanya.
“Ada terlalu banyak keributan diruang
pengadilan ini. Jika kau berkenan temui aku dirumahku, maka kita dapat
berbincang secara mendetail tentang bagaimana suamimu melalimimu.”
Si istri muda menjawab:
“Tapi kuyakin kalau disana, seperti jua
disini, akan ada kedatangan dan kepergian tak putus-putus dari orang yang
hendak berbincang denganmu.”
***
Saat rumah pikiran sesak oleh keinginan,
hatimu dirubung kecemasan. Badan yang lain barangkali waras, tapi dalam dadamu
ada lalu-lalang tiada henti.
Dapatkah naungan aman justru pada badai
musim gugur? Biar mawar ungu tahun kemarin menanggalkan tangkainya. Bunga itu
mesti pergi, agar pucuk-pucuk baru dapat tumbuh kembali.
Demi pertumbuhan baru, pohon hati hidup,
istirahatkan keangkuhanmu. Tidur dan lepaskan diri, dan bangunlah dalam bingkai
yang baru, seperti Ashabul Kahfi yang sungguh-sunguh bangun, meski
mereka nampak lelap tertidur.
***
Kembali ke hakim dan istri muda:
“Apa yang akan kita lakukan, sayang?” Tanya hakim.
“Kita bisa pergi kerumahku, ta ada
siapa-siapa disana. Suamiku pergi ke pedalaman. Kita akan berduaan saja.
Datanglah malam hari. Tak seorangpun akan melihatmu, datanglah saat orang-orang
tertidur pulas. Seolah mereka mabuk oleh anggur. Tidur-mati, seolah mereka
tergorok oleh malam—algojo hitam raksasa.”
Hakim memperhatikan bibirnya yang
bergemulai saat ia berkata. Rangsangan seperti itu, telah ia anyam didepan mata
buta sang hakim! Perempuan bisa dengan mudah melakukan ini semua. Iblis
berkali-kali membujuk Adam, tapi hanya saat hawa menyuruh dia makan, Adam lalu
memakannya. Pula kekerasan Qabil disebabkan oleh perempuan juga!
Dan ingatkah pada istri Nuh? Ia selalu
menggangsir pesan kenabian suaminya. Nuh menggoreng daging dan ia memasukkan
batu ke wajan, ia kirim pesan rahasia ke khalayak ramai: “Jangan biarkan
lelaki ini mempengaruhimu, dia sesat!”
Sebegitukah? Perempuan oh perempuan, engkau
seperti pisau bermata dua, schizophrenia, tak terperikan…
Maka sang hakim datang kala pekat malam
mendera.
“aku telah dimabuk olehmu!” kata hakim
Pada saat itulah Guntur datang
sekonyong-konyong, mengetuk pintu. Hakim mencari tempat bersembunyi, yang ada
hanya sebuah peti tua, dia masuk dan gemetar.
“Istriku, kenapa kau selalu mengeluh? Telah
kukorbankan semua untukmu tapi masih saja kau menyebutku si miskin papa dan
suami sundal. Yang terakhir adalah kesalahanmu, dan yang pertama adalah dari
Tuhan. Aku kini tak punya apa-apa kecuali peti ini, orang mengira ia penuh
dengan emas, karena itu tak seorangpun memberi sedekah pada kita. Besok, akan
kubawa ke pasar dan kubakar didepan khalayak ramai, agar semua orang melihat
tak ada apa-apa didalamnya.”
“Jangan!”pekik sang istri
“Tak ada perlunya…”
Tapi Guntur sudah bulat untuk itu, pagi
sekali ia mengupahi kuli panggul untuk dibawa ke pasar. Diperjalanan sang Hakim
berteriak pada kuli, sang kuli ketakutan, dikiranya sesosok hantu, tapi pak
hakim menjelaskan semua itu dan menyuruh para kuli untuk memanggil wakil hakim
dan menebus peti itu dengan sejumlah uang.
***
Hanya sedikit orang mengerti bahwa dirinya
terperangkap dalam peti, orang seperti itu melihat sekilas dunia rohani. Dia
mengenal onta hilang miliknya dan yakin kemana mesti pergi. Tapi sebagian orang
tak mengerti dan tak pernah merasakan bahagianya kebebasan. Mereka hanya tahu gelap peti kenyataan,
pergerakan dari kerangkeng ke kerangkeng.
Seorang bijak mengatakan: “andai kau
punya kekuatan, lampaui.”
Didalamnya juga tertera: “Tak ada jalan
melakukan ini kecuali melalui ilham Ilahi.”
Ada kesenangan pergi dari peti ke peti,
dari kegelapan ke kegelapan. Semacam kebaruan melenakan, tapi disana datang
masanya pada sebagian orang saat serupa hakim, mereka ingin keluar. Tanda dari
seorang diantara mereka adalah desakan untuk menangis.
***
Pengenal Tuhan tak akan dikelabuhi dua kali
oleh perkara yang sama. Dia diluar lahat bersisi enam: atas-bawah, kanan-kiri,
depan-belakang kotak itu.
Dia turunan timba untuk mengentaskan Yusuf.
Tubuhnya timba yang bisa menyelamatkan. Timba-timba lain turun mencari air.
Timbanya mencari teman dalam kesusahan.
Timba-timba lain melekat pada jentera
nasib. Timbanya dikerek oleh jari-jari Tuhan.
Apa itu timba? Apa itu jentera? Apa
gerangan tali?
Sebuah metaphor tak mungkin bisa mengatakan
ini. Tak ada perbandingan tepat. Seluruh pelukisan daif sama sekali saat
sampai pada perkataan:
“Kau tak melempar saat kau melempar…”
***
Seratus juta tumpuk berkas
dalam segenggam padi
sejuta lelaki dalam seorang lelaki
ratusan busur anak panah
dalam satu sumpit
setitik debu membuka mulutnya,
matahari didalamnya!
Tubuh, basuh tanganmu dalam roh ini
Lautan tumpah dalam kantong air ini
Imam Mahdi dalam keledai ini
Seribu ka’bah dalam sebuah gereja dusun
kecil!
Obyek tak be-ruang hidup dalam ruang
Seseorang bertanya: “Bisakah ku
ejawantahkan cintaku?”
Manusia sejati tak pernah seperti apa dia,
atau dia yang tampak.
Kucek matamu! Dan lihatlah sekali lagi….
Komentar
Posting Komentar