“Marilah kita mulai dengan yang tak mungkin…” –Jacques Derrida
Menjelang fajar tiba aku terjaga. Mata ku berontak melihat sekeliling merupa gelap, aku tak paham, seolah semua yang diluar tubuhku berubah seperti bayang wajah seseorang. Suara music yang berdentum lirih dibawah kamarku mengalirkan nada-nada liris yang semakin membawa perasaan hanyut dalam tubuh sepi dini hari. Seluruh jiwaku basah oleh embun, pada kaki yang telanjang melintas gelombang dingin nan pucat pasi. Benak beriringan saat suara sahut subuh bergema dalam relung sadar, pengetahuan pagi yang bergetaran, mencumbui inspirasi terkelam.
Serasa Ada roh yang menyelinap dalam jiwa, semurni air pegunungan, sesuci cahaya dikegelapan, semanis ornamen embun, mengalun pada tubir nada yang bergerak dalam lintasan bunyi harmoni. Tapi betapa lemahnya nafas yang terhirup bersama bulir-bulir udara, betapa rapuhnya tubuh yang semakin diterkam kubangan nestapa. Seperti noktah ungu pada warna cuaca, tak kunjung jua, hantarkan pesan tentang teduh hujan.
Tertegun rupa hatiku dalam mimpi tiga dimensi yang berpusar melingkupi dunia imajinal kosmis tempat dimana refleksi tergurat pada ketiadaan strata. Sekejap, hadir dan lenyap, seperti sebuah cinta yang hilang tanpa jejak petanda tersisa. Dan mentari segera merangkak naik kaki langit dibingkai horizon pahat warna ungu pagi yang menderap dihati.
Secangkir kopi hitam menawarkan pesona hasrat yang membuka tirai-tirai gelap dalam relung pikiran. Wangi aromanya hangat mencumbui desah batin yang mulai lupa akan cinta yang murni dan azali. Sebuah kilau semakin menampakkan tempias cahaya, ketika berpendar membias bersama aliran air sungai, memantulkan bianglala yang kecil terhinggap dalam relung sadar. Cahaya berwarna mawar keunguan itu, berkilau dalam hati anehnya yang selalu bersedia ditikam dan dihembuskan dalam penolakan asmara. Tapi, anehnya tak ada seorangpun tahu dan tak akan mengerti.
Seberkas senyum menandai sunyi. Bersedia memulai awal dunia, dan terpikat dalam paduan suara warna ungu yang memenjara batinnya. Orang yang paling kita sayangi, entah kenapa sebegitu mudah melukai hati.
Berserakan buku-buku membawa angkuh keingintahuan menggebu. Diambil sebuah buku dalam tumpukan yang tak tertata, mata meliar melahap huruf-huruf dan meresapi maknanya. Lagi-lagi cerita cinta yang klise tentang kebodohan gila alias majenun meratapi keringnya cinta. “ah! Basi…” ku buang buku tentang cerita cinta yang konon mengilhami Shakespeare mencipta kisah tentang Romeo and Juliet yang jadi legenda itu ke dalam bak sampah.
“Adieu!”
Dan waktu telah menunjuk angka 8, sudah saatnya aku harus mencari lagi… sesuatu yang tertunda dan sesuatu yang dipungut lagi kala pagi...
***
Jalan-jalan kota ini semakin hari semakin sesak oleh lalu lalang kendaraan baik roda dua dan empat yang semakin mencemari udara pagi dengan balutan asap karbon. Disebuah perempatan pojok beteng, aku masih tetap berjalan. Sesekali memandang sekeliling yang merupa bermacam kejadian. Semua tak peduli, hanya tampak wajah-wajah kaku yang menerawang hari dengan arah dan tujuannya masing-masing.
Aku nyalakan sepuntung padat tembakau, entah aku belum bisa keluar dari hegemoni tembakau, aku belum bisa sepenuhnya berhenti menghembuskan asap nikotin, mungkin karena ia adalah salah satunya sahabat yang setia menemaniku dalam kesepian yang absurd.
Tersentak.... dengan tiba-tiba seorang wanita aneh menabrakku… buku-bukunya tercecer, ku lihat ia seperti seorang kutu buku yang setiap hari berbicara dengan kertas. Kacamatanya yang tebal semakin menjelaskan bahwa dia seorang pemamah kata.
“maaf, sobat…”
“seharusnya aku yang meminta maaf…” datar ia menimpali. Dan langsung branjak pergi tanpa bersuara lagi.
Ku lihat ia meninggalkan secarik kertas, bongkahan kertas itu menarik pandanganku kearahnya. Seperti sebuah makalah tentang Stoisisme tapi berbahasa Perancis. Spontan kukejar orang aneh itu, cepat sekali sampai aku hampir kehilangan jejak.
“hei pappermu tertinggal…” sambil terengah aku sodorkan kertas itu…
“tak apa untukmu saja..” wajahnya tersenyum manis seperti cahaya pagi ini...
“wah, aku tak bisa berbahasa perancis, jika ku baca tak membuatku paham tapi malah semakin pusing…”
Ia hanya tersenyum…
“tapi ngomong-ngomong, kamu suka filsafat ya? Inikan membahas Stoisisme kan? Ya seperti sekarang kita adalah Stoa, berada di gang…”
“aku hanya ingin belajar tentang hidup, karena aku tahu, hidup semakin hari semakin tak hidup, kita diombang-ambingkan oleh dunia luar yang sama sekali tak berhubungan dengan diri kita…”
“mungkin benar, tapi aku tak terlalu sepakat, ketika kita tak bersimpati pada luar diri kita, itu naïf saja...”
“ya, terserah karena aku tak mau jadi budak nafsu…karena cinta, emosi, dan perasaan yang berlebih hanya menimbulkan impresi semu…”
“sebegitukah? Bukankah rasio itu juga nafsu alias kehendak juga, seperti Nietzsche, hidup adalah nafsu…nafsu untuk bebas berkehendak…”
“dan kehendak hanya akan menertawai cintamu, kau ini manusia tak punya apa-apa, tak miliki apa-apa diluar dirimu sendiri, dan apa yang diluar dirimu tak akan pernah tergantung padamu, seperti perasaan iba dan cinta yang sebenarnya palsu, kau ingin bebas? Semestinya kau tak mengharapkan dan menginginkan apapun yang berada diluar dirimu, diluar jangkauanmu…jika tidak niscaya kau akan jadi budak, budak bagi dirimu sendiri…dan aku tak punya waktu untuk itu…sampai jumpa…”
Aku hanya diam membisu melihat derap langkahnya yang menghentak trotoar dengan cepatnya, ia lamat menghilang dalam cakrawala.
Dan aku berjalan berbalik arah, tak tahu, kemana lagi arah yang harus ku tempuh… kurenungi segala dialog singkat tadi, dan serasa aku tertusuk oleh kata-katanya. Seolah ia tahu bagaimana keadaan hidupku yang diperbudak diriku sendiri…
Barangkali inilah jalanku…kucari lagi ihwal kehidupan ini, dalam makna teja senjakala membeku. Kulihat lagi sebuah kenangan dari gadis aneh itu, pada halaman terakhir tertulis: « Commençons
par I ‘impossible »
Komentar
Posting Komentar