Langsung ke konten utama

Cahaya diatas cahaya




Malam bertadah percik hujan. Hening yang pecah seiring pantulan-pantulan air yang membasah, menebas payon, mencumbu kerontang hitam tanah melebam.
Dalam sunyiku, sujudku berkelindan nafsu, mencerap cahaya diatas cahaya, merayap sesekali dipermukaan hitam, tubuhku kaku, lesu mendengar parau suara sepi dalam mimpi—makin jadi ilusi. Cinta? lagi dan lagi, membuat kita tersiksa, menikmati keheningan cahaya, temaram disudut-sudut ruang hampa. Mungkinkah ia tiba? mungkinkah ia datang tanpa luka, tanpa air mata kesekian kalinya? ya…aku akan mencoba dan terus mencoba, hingga kau tahu, hingga kau percaya, disini aku masih “ada”.
Tapi siapa? Mungkinkah dia yang melampaui malam pekat sunyi, atau mimpi-mimpi tiga dimensi…dalam hatiku, aku masih mengiangmu selalu, meratap, mengenang, pedih-peri sayu. Kau tahu, semua sudah berubah, tak seperti waktu itu, dulu, dan kita adalah karikatur tanpa skema yang terpahat pada titian jejak tertangguhkan, seperti biru yang merupa ungu, didepan rumahmu, setiap kali, setiap pagi…
Mengalirlah deras alirannya disetiap pola, memacu gerak nokturnalnya disetiap jeda kata, aku akan selalu menunggumu, menikmati sendiri, menikmati haluan teks-teks dalam tumpuk-tumpuk halaman buku, barangkali esok akan berjalan tak seindah keinginan kita, dan cerita tak selempang indahnya mahligai cinta.
Eudaemonia, bahagia untuk hidup bermakna, mencari lagi yang asing dan tak kita mengerti, melewati labirin keterasingan, menghamburkan sajak-sajak sunyi, di atas segalanya, yang terasa, yang kita anggap fana, seperti cinta, untukmu selalu tertunda.
Reda hujan penanda cerah cuaca, menyingkap satu warna cahaya, menyembulkan bianglala, mungkinkah kita masih bisa? atau janjiku hanya menyisa abu yang sesegera terhempas angin lalu saja?
Malam-malam bertadah remah sepi, sucikan damai hati, berdamailah diri sendiri, mencari lagi perigi yang tak kunjung kering sebelum pagi, dan wajah ayumu adalah epifani tak terisi, kosong, tak hendak aku rasakan melekat. Dan bunyi detak jam mengalunkan detik-detik lambat, menandai segenap janji, mencerapi lagi rasa yang tertinggal disela-sela egolatri, dibalik kerak-kerak keangkuhan, aku akan selalu disini, menikmati sunyi hakiki, mencari lagi, bayangmu yang lenyap terserap not-not dalam partitur usang ini.
Barangkali kau sudah lupa, dan temukan kebaruan disana? Seseorang yang membuatmu berbahagia, menderap tawa, atau seorang larap yang akan mengisi bahtera kehidupan selanjutnya? Ah…tapi semua hanya kemungkinan, aku tak mengerti, ya…aku masih menanti cahaya itu, cahaya kebenaran wajahmu, cahaya kejujuran cinta yang tak pernah berdusta, cahaya…tak terhingga, cahaya diatas cahaya, melampaui segala rupa, melampaui pongah yang menyisa, atau barangkali tak ada?
Ya, itulah cinta, hanya kesetiaannya yang terpatri diruang kosong sukma, dan kita hanya bagian terkecil yang tak terlihat, tapi cinta kita selalu “ada”, dalam aksara, dalam hening rasa yang tak tertahan riuh kama terhina, selamat malam […]

Komentar

Populer