Seringkali, aku merasakan keterasingan. Dari tiap-tiap
hamparan fenomena terlewatkan, dari jejak-jejak narasi terlupakan. Semua
menampik kehadiran wajahku, membungkam mulutku, mencekat merih pita suaraku,
menikam tubuh kurusku, menghapus rasa yang pernah ada, yang kini masih terasa,
tanpa suaka, tanpa suara merdu yang bergaung disela kidung hampa.
Aku merasa asing, dari ingar-bingar ramainya
kehidupan. Mereka semua melupakan, melupakan aku, melupakan wajahku, melupakan
cinta yang tak jua ada.
Diantara rona cahaya yang memantul ditubir senja,
meneran degup ranum noktah hitam berjelaga, bayang-bayang itu tak hilang. Kekal
dalam memori, tapi lenyap sebelum men-jadi. Menghadirkan keaslian wajahnya, yang
hilang, lenyap, padam lembayung kemerahan beriring arak-arakan rindu, terurai
pada prisma aksara, pada jeda-jeda kata, tak terisi pada rongga waktunya, dan
sesekali hadir dalam bingkai hologram mimpi, tiga dimensi.
Burung-burung berkicau, gaduh, mendaras senyum pagi,
permulaan harapan terkunci, menimbun
sisa remah temaram cahaya, memancar pada lubang-lubang kaca. Juga kumpulan gema
kokok ayam jantan menembus udara. Menikmati pagi, seraya menghembus nafas
pertama, meneguk rona udara, mencerapi relung-relung gelap yang lamat pudar
bersama terangnya pelita. Seperti basah hujan di malam tanpa rupa, tak terlihat
sedih, hanya butir-bitir air mata, menetes, lagi tak tertera.
Kini dan disini, aku menyelami sendiri. Sendiri ruang
ambivalensi. Memagut titah suci, tapi yang suci sudah direnggut ukuran pasti.
Kau tak lagi, mengacuhkan aku ditempat ini. Pada hijau
rumput padang ilalang, pada ungu yang terpampang pada tembok terakhir, bersamanya,
buku-buku erudisi, tentang jilbab yang menabiri epifani wajahmu, tentang aurat
ayumu terpatri. Mungkin kau buang sebelum terbaca, meludahinya dengan
karat-karat umpatan cela. Atau sebaliknya? kau menampik wajahku, tapi kau,
menelusupkan rahasia yang tak terbaca?
Barangkali, esok kita hanya cerita fana, seperti fiksi
terbaur fakta. Mencari lagi cinta yang tak pernah ada. Menuai kembali masa lalu
yang kabur bersama luka. Ya…aku akan hilang, bersama rangkai wajahmu saat
terakhir kali kita bersua, entah dimana, aku akan menemukan puing-puing cerita,
mengais patahan-patahan remuk hati yang lara, pada dini hari saat-saat gerimis
air mata. Disini aku menikmatinya, sendiri, melampaui sunyi hakiki.
Hei…aku mencintaimu! Sedetik itu kilat suara
bertebaran dari pita suaraku.
Tapi sudahlah, lupakan, lupakan saja, itu, kau bilang
begitu, bukan?
Sekilas aku melihat, apa yang tak keluar, sebuah kutub
negatif yang tak terjamah pikiran, sebuah cinta tak lagi mau diakuinya. Kenapa
semua? Tertawa? Puas kau hina? Puas kau menyiksa?
Aku fana, kau kekal bersama cahaya. Aku airmata, kau
tersenyum bersama bahagia. Dan kau tahu aku pecundang, aku adalah laki-laki
jalang. Aku tak tahu, tak pernah mengerti. Siapa aku, siapa kita, siapa mereka?
Tapi, aku masih menunggumu mengiring dentum waktu, untukmu yang tak pernah
mengacuhkan aku.
Mungkin serangkai kata akan membawanya kembali, menghadirkan
pecahan masa lalu dalam hati, atau justru menghapuskan titik kecil, yang
tersisa dalam bait-bait puisi?
Dari sudut selatan yang hampa, aku melihat cahaya, aku
melihat kau menghapus warna ku yang lusuh bermuram durja, aku melihat tangis
tanpa air mata, aku melihat cinta yang tak selesai tergambar di kanvas ungu tak
berwarna, aku melihat wajahmu dibalik tirai besi tua, aku….aku melihat
ketakmungkinan yang mungkin ada, seperti bianglala yang muncul kala kemarau
panjang tak bermuara, disana, ditempat kita pernah terjumpa […]
Komentar
Posting Komentar