Langsung ke konten utama

Hukum islam vis-à-vis kemodernan dan keindonesiaan


Menelaah hukum islam (fikih dan syariah) dalam level diskursus memang menjadi khazanah yang problematis. Ini menjadi sebuah isu yang hangat dalam diskursus kontemporer, terutama dalam rangka menyikapi dikotomi antara sekularisme dan absolutisme agama. Satu sisi umat islam tertantang oleh agenda dunia modern (hadhatsah) yang mencita-citakan keadilan, demokrasi, penegakan HAM, dan kebebasan manusia untuk berekspresi dan aktualisasi serta tanggung jawabnya terhadap lingkungan hidup. Disisi yang lain umat islam dihadapkan dengan tradisi (turats) yang sudah dianggap taken for granted dan final sebagai solusi yang menjadi panacea (obat) bagi segala macam patologi modernitas.
Dalam hal ini, para pemikir sekular cenderung abai terhadap nilai-nilai keagamaan yang menyangkut kehidupan bersama dalam ruang publik, seolah-olah mereka melarikan diri dari kenyataan dan agama hanya dianggap sebagai ritus belaka. Sementara itu para pemikir fundamentalis menganggap konstruksi hukum dalam islam sudah sempurna karena berasal dari Tuhan, sehingga dianggap sudah la roiba fih, padahal zaman terus bergerak dan realitas menuntut adanya rekonstruksi pemikiran yang lebih aktual dalam rangka menjawab tantangan problem sosial yang semakin kompleks.
Nah, dalam terang permasalahan ini saya akan coba mereview kembali diskusi di Dasein Institute[1] dengan kontekstualisasi dalam lokus keindonesiaan. Dalam diskusi ini fokus kajian adalah pada tataran epistemologi antara ahlu-hadits (bersandar pada teks) dan ahlu-ra’yu (bersandar pada akal), yang mana kemudian dari historisitas pembentukan sistem hukum dalam islam diformulasikan berdasarkan perspektif yang saling berseberangan ini.  
Memang dalam sejarah kedua kubu ini saling berseberangan dan selalu menuai perdebatan dimana teks (al-Qur’an dan sunah) yang menjadi sandaran untuk menjawab masalah sosial-keagamaan itu harus konstekstual atau literal. Perdebatan ini sebenarnya soal masalah pemahaman, terutama pasca meninggalnya Rasulullah Muhammad yang mempunyai legitimasi dalam menjawab problem kemasyarakatan.
Dititik ini, terutama melihat realitas keindonesiaan yang plural, tafsir terhadap nashsh tentunya harus dilihat secara proporsional. Terutama kita harus terlebih dahulu “menunda” sifat yang abadi—melampaui sejarah—dari pemahaman akan (islam sebagai agama secara normative) dan kodifikasi hukum sebagai produk pemikiran dan penafsiran yang dikenal sebagai fikih dan syariah (terutama yang mengacu pada mazhab abad pertengahan). Dalam hal ini seorang intelektual islam asal Sudan, Abdullahi Ahmed an-Na’im, memberikan gambaran yang cukup jelas dimana syariah (yang juga mencakup fikih yang mengatur masalah teknis ibadah dan individual-moral) sejatinya bukanlah islam itu sendiri, namun ia hanya interpretasi terhadap nashsh yang dipahami dalam konteks situasi historis tertentu.[2]
Lebih jauh an-Na’im mencoba mengelaborasi secara dialektis hubungan antara formulasi tradisional dan formulasi pemikiran modern. Keduanya, menurutnya masih terjebak dalam “involusi tekstual” dimana hukum islam dalam rentang sejarahnya hanya dipahami dalam konteks masyarakat islam madinah abad ke tujuh. Tentunya, konteks situasi ini tidak memadahi untuk dijadikan pijakan dalam rangka menyiangi duduk perkara modernitas, setidaknya terdapat “jalan lain” dalam rangka perubahan hukum kearah liberatif sebagaimana diyakini oleh an-Na’im. Menurutnya dasar alternative sebagai kerangka ijtihad adalah wahyu yang turun fase awal kala Rasulullah berdakwah di Makah.
Dasar teoretik yang diambil oleh an-Naim adalah ayat-ayat yang turun di Makah masih murni sebagai doktrin islam yang nilai-nilainya universal-egalitarian-demokratik. Sementara itu, ayat-ayat yang turun di Madinah menurutnya sudah mengalami penyesuaian historis dengan kondisi tatanan cultural yang melingkupi konstruk sosiologis masyarakat madinah waktu itu. yang mana ayat-ayat madinah menurutnya lebih bersifat sectarian-diskriminatif.
Posisi an-Na’im bisa dikatakan dalam “ruang-antara”. Ia mencoba mentransmisikan gagasan yang sudah mapan dalam aras tradisional dan merubah struktur formatif hukum islam itu kearah yang lebih progresif. Disini ia tidak hanya sekedar melakukan reformasi hukum tapi juga dekonstruksi—dengan membongkar tradisi dan kemudian memproduksi tatanan yang baru untuk memecahkan masalah modernitas.
Secara epistemologis posisi yang diambil an-Na’im adalah mendialektikakan antara teks ke konteks dengan latar historis tertentu sebagaimana dihadapi. Selain mencari universalitas nilai dalam islam tentunya konteks historis yang melatarbelakanginya harus tak diabaikan. Yang mana memang konteks historis ini seringkali bersifat lokal dalam aras kulturalnya, namun tidak berarti eksistensi “narasi kecil” itu harus dibungkam begitu saja. Sebagaimana terpampang di bumi nusantara yang melimpahruah akan kekayaan diversitas kultural ini.
Dalam konteks inilah, syariat islam tentu harus bersifat “lentur” seraya mengambil posisi yang saling mengandaikan. Antara kulturalitas dan keislaman sejatinya bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, karena nilai universal islam itu niscaya kompatibel dengan semangat demokrasi dan kemanusiaan. Hanya saja perlu adanya dialog kritis untuk mencari sisi universal keduanya tanpa menghapus identitas partikular yang menjadi tanda pengenal nilai kebudayaan yang juga memiliki sistem nilainya sendiri (local wisdom).
Pada aras ini formalisasi syariah dalam lokus keindonesiaan tentu kurang relevan. Apalagi melihat kecenderungan serba warna yang memang tak terbantahkan. Memaksakan formalisasi hukum islam diruang public tentu akan merusak pluralisme itu sendiri. Selain dari pada itu, yang dibutuhkan sekarang bukanlah—meminjam bahasa buya Syafi’i Maarif—gincu tapi garam. Yang mana bukan masalah yang terlihat saja (islam yang bergamis, jenggot, dan serba-serbi luar saja) tapi rasanya (substansinya) jauh lebih penting, akan lebih bermakna dan terpatri dalam semangat pencerahan dalam rangka memperbaiki system demokrasi yang lebih menyejahterakan dan membebaskan dalam terang keadilan sosial dan kemanusiaan.
Sebagaimana sejauh ini kita lihat di berbagai daerah-daerah yang menerapkan Syariat islam, yang hanya lebih terlihat sebagai “arabisasi” dari pada “islamisasi”. Juga lebih berwarna tendensi politis tertentu. Tentu saja, kita sepakat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang bermoral dan berprinsip dasar keadilan universal. Hanya saja perlu adanya deliberasi ruang public terus-menerus untuk mencapai itu, bukan dengan jalan instan dengan “copy-paste” dengan meromantisir sejarah islam yang seolah-olah ideal—tanpa patologi.
Syahdan, zaman ini adalah post-secular dimana agama-agama mendapatkan “nama”-nya kembali diruang public politik.  Maka dari itu peran agama tak harus terfomalisasi dalam tataran politik, tapi bagaimana peran agama-agama itu adalah untuk menjaga moralitas bangsa agar tak terpuruk dalam antinomi moral. Selain itu, sisi universal agama adalah bagian integral yang harus terus didialeketikakan dengan sistem politik yang dirasa masih kurang relevan. Dititik inilah, kita tak terjebak pada aras sekular yang menempatkan agama hanya pada level privat, juga tidak terjebak pada “Logosentrisme” ala kaum islamis yang seakan-akan menghadirkan “tuhan” di dunia lewat penafsiran pribadinya. Dalam hal ini demokrasi yang kita jalani saat ini bukanlah sistem yang final tapi men-jadi—kearah aktualitasnya menuju kesejahteraan dan keadilan bersama. Sebagaimana dikatakan Derrida bahwa demokrasi ini adalah demokrasi to come (la démocratique a venir), demokrasi adalah sebuah proses yang selalu diikhtiarkan sebagai proses dan tanggung jawab bersama yang tiada batasnya. Menghargai dan merayakan pluralitas adalah keniscayaan, namun dengan sikap yang lebih peka terhadap konteks kepada apa yang kita sebut “sejarah”—juga disertai dialog terus-menerus antara wahyu dan akal-budi untuk taraf kehidupan yang berkeadilan dan bermoral.

Post-scriptum
Nah, dalam hal ini masalah dikotomi ahlu-ra’yu dan ahlu-hadist saya kira tak relevan, karena keduanya saling mengandaikan. Al-Quran dan sunnah adalah aksioma dasar itu jelas, hanya saja persoalannya bagaimana mencari sisi universalitas nilai yang terkandung didalamnya yang kemudian dikontekstualisasikan dalam masalah aktual, pula tidak terjebak pada ragam tafsir abad pertengahan. Sehingga penafsiran akan menjadi produktif bukan reproduktif yang hanya merepetisi yang sudah ada, tapi membentuk sebuah kebaruan lewat dialektika akal dan wahyu. Jadi nilai-nilai islam itu tidak hanya sekedar formalitasnya saja tapi juga membumi kedalam dimensi social yang lebih luas, sebagaimana Kuntowijoyo bahwa nilai islam itu harus di-obyektifikasi-kan agar mudah diterima dengan persuasi bukan represi.
Maka dari itu, akal-budi menjadi niscaya dalam menafsir wahyu yang bersifat transendental. “Tidak mungkin al-Qur’an berbicara sendiri tanpa manusia” demikian sepenggal kalimat Ali bin abi Thalib RA, yang secara implicit menegaskan bahwa peran nalar manusia tak mungkin bisa dihindari untuk menafsir al-Qur’an. Meminjam bahasa Abdul Moqsit Ghazali bahwa akal adalah “editor” dari wahyu. Hal ini pun dijustifikasi al-Quran sendiri dimana “Sesungguhnya kami telah menurunkan al-Qur’an dalam bahasa [manusiawi] Arab.” Ini mengindikasikan bahwa al-Quran menyapa akal manusia, al-Qur’an adalah wahyu tapi butuh dimensi “kemanusiawian” untuk bisa dipahami dan itu tergantung dari perkembangan pengetahuan nalar manusia. Sebagaimana dikatakan an-Na’im bahwa al-Qur’an adalah fenomena historis, tapi ia tetap wahyu. Tanpa pemahaman manusia al-Qur’an menjadi tidak relevan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.


[1] Dasein institute adalah forum kajian keagaman, pemikiran Islam, filsafat, dan ilmu social yang diprakarsai oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jogja.
[2] Lebih jelas lihat: Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syariah, (Yogyakarta: LKiS).

Komentar

Populer