-->
Gundah gulana, galau, gelisah, dan geram,
barangkali setiap mendengar isi berita yang terpampang dilayar kaca tiap hari.
Setiap kejadian dalam ruang publik politik negara ini serasa semakin hari
semakin mengalami kegamangan. Dari korupsi, masalah HAM yang serasa jadi “berhala” tapi penegakannya juga absurd,
pancasila yang makin jadi pigura, kriminalisasi KPK, skandal mega korupsi yang
tak jua terungkap tabirnya, serta rong-rongan korporasi kapitalis multinasional
yang hendak memanipulasi realita untuk menguasai bumi dan kekayaan alam Negara
ini.
Belum lama ini organisasi Islam terbesar
dibumi pertiwi, Nahdlatul Ulama, bermunas dengan menghasilkan fatwa atau lebih
tepat himbauan kepada Negara untuk menghukum mati para koruptor yang terbukti
merampok uang Negara. Langkah berani yang dilakukan NU ini memang sejatinya
tepat saat semua semakin geram dengan para oknum pejabat Negara yang semakin
tak malu, bahkan berjamaah dalam merampas kekayaan rakyat. Korupsi jelas
menjadi biang kemiskinan dan pemiskinan yang merenggutkan hak rakyat yang tidak
mampu atau dimatikan akses ekonominya. Ditengah iklim pasar bebas dengan jerat
mega capital yang memberangus akses ekonomi kerakyatan hulu sampai hilir, masih
saja ada oknum pejabat Negara yang seenaknya menikmati dan menghamburkan hak
rakyat itu, habislah sudah—moralitas sudah mati. Maka, sudah sepantasnyalah
para koruptor laknat itu dihukum pancung di Monas agar jera, karena ulah mereka
kemiskinan semakin menjadi-jadi dan bertambah tiap harinya.
Memang terkadang HAM dijadikan alasan untuk
tak menghukum mati si koruptor, atas nama kemanusiaan, atas nama hak hidup,
tapi apakah kita tak memperhatikan juga mereka yang mati bunuh diri gara-gara
kemiskinan berlarut-larut karena hak-nya juga direnggut oleh para koruptor
bejat itu? Penegakan hukum dinegara ini yang juga masih carut-marut, dan kita
tahu hukuman bagi para koruptor kelas kakap pun paling-paling lima tahunan.
Sehingga para koruptor semakin tak jera, bahkan semakin bertambah tiap harinya.
Bayangkan saja, orang mencuri ayam sama hukumannya dengan para koruptor yang
jelas-jelas memiskinkan orang ramai. Malahan si koruptor itu masih mending, tak
digebukin massa, juga dapat bui yang VIP—serasa tambah absurd saja hukum
dinegara ini. Belum lagi, sang pilot yang berada diujung tombak Negara hanya
bisa omdo demi citranya saja, tapi tak tegas mengurusi masalah korupsi.
Masih masalah korupsi. KPK yang ditunjuk
sebagai penegak yang dianggap paling kredibel memberantas korupsi, juga semakin
tak aman saja. Setiap kali terdengar bau-bau anyir dari mulut-mulut comberan
yang coba menekan dan mempersempit ruang geraknya. Ada-ada saja ulah para
pejabat tak bertanggung-jawab itu, dan bisa jadi kabar-kabar burung itu sekedar
pengalihan isu dan pengkondisian wacana untuk menutup borok yang lebih besar,
dan itu selalu terjadi.
Sekarang kita coba refleksi, hari kesaktian
Pancasila yang controversial itu jga banyak menimbulkan Tanya. Pancasila yang
disaktikan itu jelas-jelas reka-reka sejarah orde baru yang coba membikin
hegemoni agar rakyat anti-pati dengan komunis. Senjakala merah yang merenggut
jutaan manusia atas nama manipulasi sejarah dan ideologi penguasa masa kelam
itu memang menyisakan pedih bagi harkat kemanusiaan. Kita tahu, dan sejarah
semakin membuka tirainya, bahwa yang bersalah bukan hanya mereka—PKI. Mereka
hanya bagian dari konspirasi agung rekayasa kepentingan-kepentingan agenda blok
barat, yang juga dimanfaatkan secara mulus oleh penguasa orba itu. Bukankah
juga sebenarnya tirani orba jelas-jelas lebih bengis dari ceritera lubang buaya
sekalipun?
Barangkali memang sejarah akan dan selalu
jadi ajang kontestasi kekuasaan, dan rakyat hanya miturut dibelakang, asal
kenyang, tak jadi soal J. Tapi yang penting sekarang adalah bukan
kesaktian pancasilanya, tapi nilai yang terkandung dalam pancasila itu
benar-benar terhayati oleh seluruh entitas bangsa ini, yang masih mengaku orang
Indonesia tentunya. Dan bukan Cuma hafalan dan patriotisme pongah yang
didogmakan layaknya jaman orba.
Nah, sekarang bicara kedaulatan Negara (sovereignty),
ini bukan rahasia umum lagi dimana kekayaan alam kita semakin di keru oleh
orang asing. Bahkan 80% minyak bumi kita dikuasai asing, itu menurut Ihsanudin
Noorsy. Belum lagi, Freeport yang terus saja meraup untung dari tanah Papua
yang kaya dengan tambang emas terbesar sedunianya itu. Dan lagi, sekarang ada
yang mau mengoyak dan merebut ltambang batu bara yang sekarang masih kita kuasai. Rostchild,
perusahaan trans-nasional asal Inggris itu semakin gencar mencari celah
ketakberdayaan apparatus negara, terutama bapak Presiden kita tercinta. Memang, ini masalah bisnis perusahaan local
dengan mereka yang orang putih berpualam itu, tapi ini Negara bukan Negara
pasar bebas yang hendak menggadaikan seluruh bumi,tanah, dan airnya yang
sejatinya untuk kepentingan rakyat. Meskipun pada kenyataannya, pasar bebas itu
memang nyata terjadi, tapi apakah pak Presiden rela kedaulatan Negara ini
dipecundangi kapitalis-kapitalis laknat lagi? Kita lihat saja, apakah kita
masih bermental terjajah, atau sudah sadar dari penyakit inlander-nya itu.
Hah! Kalau terus begini, rakyat mau dibawa
kemana?
Komentar
Posting Komentar