Langsung ke konten utama

Mau dibawa kemana? (anggap ini adalah omongan orang tolol yang lagi melantur!)

-->
Gundah gulana, galau, gelisah, dan geram, barangkali setiap mendengar isi berita yang terpampang dilayar kaca tiap hari. Setiap kejadian dalam ruang publik politik negara ini serasa semakin hari semakin mengalami kegamangan. Dari korupsi, masalah HAM yang serasa jadi “berhala” tapi penegakannya juga absurd, pancasila yang makin jadi pigura, kriminalisasi KPK, skandal mega korupsi yang tak jua terungkap tabirnya, serta rong-rongan korporasi kapitalis multinasional yang hendak memanipulasi realita untuk menguasai bumi dan kekayaan alam Negara ini.
Belum lama ini organisasi Islam terbesar dibumi pertiwi, Nahdlatul Ulama, bermunas dengan menghasilkan fatwa atau lebih tepat himbauan kepada Negara untuk menghukum mati para koruptor yang terbukti merampok uang Negara. Langkah berani yang dilakukan NU ini memang sejatinya tepat saat semua semakin geram dengan para oknum pejabat Negara yang semakin tak malu, bahkan berjamaah dalam merampas kekayaan rakyat. Korupsi jelas menjadi biang kemiskinan dan pemiskinan yang merenggutkan hak rakyat yang tidak mampu atau dimatikan akses ekonominya. Ditengah iklim pasar bebas dengan jerat mega capital yang memberangus akses ekonomi kerakyatan hulu sampai hilir, masih saja ada oknum pejabat Negara yang seenaknya menikmati dan menghamburkan hak rakyat itu, habislah sudah—moralitas sudah mati. Maka, sudah sepantasnyalah para koruptor laknat itu dihukum pancung di Monas agar jera, karena ulah mereka kemiskinan semakin menjadi-jadi dan bertambah tiap harinya.
Memang terkadang HAM dijadikan alasan untuk tak menghukum mati si koruptor, atas nama kemanusiaan, atas nama hak hidup, tapi apakah kita tak memperhatikan juga mereka yang mati bunuh diri gara-gara kemiskinan berlarut-larut karena hak-nya juga direnggut oleh para koruptor bejat itu? Penegakan hukum dinegara ini yang juga masih carut-marut, dan kita tahu hukuman bagi para koruptor kelas kakap pun paling-paling lima tahunan. Sehingga para koruptor semakin tak jera, bahkan semakin bertambah tiap harinya. Bayangkan saja, orang mencuri ayam sama hukumannya dengan para koruptor yang jelas-jelas memiskinkan orang ramai. Malahan si koruptor itu masih mending, tak digebukin massa, juga dapat bui yang VIP—serasa tambah absurd saja hukum dinegara ini. Belum lagi, sang pilot yang berada diujung tombak Negara hanya bisa omdo demi citranya saja, tapi tak tegas mengurusi masalah korupsi.
Masih masalah korupsi. KPK yang ditunjuk sebagai penegak yang dianggap paling kredibel memberantas korupsi, juga semakin tak aman saja. Setiap kali terdengar bau-bau anyir dari mulut-mulut comberan yang coba menekan dan mempersempit ruang geraknya. Ada-ada saja ulah para pejabat tak bertanggung-jawab itu, dan bisa jadi kabar-kabar burung itu sekedar pengalihan isu dan pengkondisian wacana untuk menutup borok yang lebih besar, dan itu selalu terjadi.
Sekarang kita coba refleksi, hari kesaktian Pancasila yang controversial itu jga banyak menimbulkan Tanya. Pancasila yang disaktikan itu jelas-jelas reka-reka sejarah orde baru yang coba membikin hegemoni agar rakyat anti-pati dengan komunis. Senjakala merah yang merenggut jutaan manusia atas nama manipulasi sejarah dan ideologi penguasa masa kelam itu memang menyisakan pedih bagi harkat kemanusiaan. Kita tahu, dan sejarah semakin membuka tirainya, bahwa yang bersalah bukan hanya mereka—PKI. Mereka hanya bagian dari konspirasi agung rekayasa kepentingan-kepentingan agenda blok barat, yang juga dimanfaatkan secara mulus oleh penguasa orba itu. Bukankah juga sebenarnya tirani orba jelas-jelas lebih bengis dari ceritera lubang buaya sekalipun?
Barangkali memang sejarah akan dan selalu jadi ajang kontestasi kekuasaan, dan rakyat hanya miturut dibelakang, asal kenyang, tak jadi soal J. Tapi yang penting sekarang adalah bukan kesaktian pancasilanya, tapi nilai yang terkandung dalam pancasila itu benar-benar terhayati oleh seluruh entitas bangsa ini, yang masih mengaku orang Indonesia tentunya. Dan bukan Cuma hafalan dan patriotisme pongah yang didogmakan layaknya jaman orba.
Nah, sekarang bicara kedaulatan Negara (sovereignty), ini bukan rahasia umum lagi dimana kekayaan alam kita semakin di keru oleh orang asing. Bahkan 80% minyak bumi kita dikuasai asing, itu menurut Ihsanudin Noorsy. Belum lagi, Freeport yang terus saja meraup untung dari tanah Papua yang kaya dengan tambang emas terbesar sedunianya itu. Dan lagi, sekarang ada yang mau mengoyak  dan merebut ltambang batu bara yang sekarang masih kita kuasai. Rostchild, perusahaan trans-nasional asal Inggris itu semakin gencar mencari celah ketakberdayaan apparatus negara, terutama bapak Presiden kita tercinta. Memang, ini masalah bisnis perusahaan local dengan mereka yang orang putih berpualam itu, tapi ini Negara bukan Negara pasar bebas yang hendak menggadaikan seluruh bumi,tanah, dan airnya yang sejatinya untuk kepentingan rakyat. Meskipun pada kenyataannya, pasar bebas itu memang nyata terjadi, tapi apakah pak Presiden rela kedaulatan Negara ini dipecundangi kapitalis-kapitalis laknat lagi? Kita lihat saja, apakah kita masih bermental terjajah, atau sudah sadar dari penyakit inlander-nya itu.
Hah! Kalau terus begini, rakyat mau dibawa kemana?

Komentar

Populer