Aku ingin
menulis tentang hujan. Yang rintik, turun menggenangi lubang-lubang jalanan.
Arus-arus yang terthenti dan tertahan. Basah-basah kuyup. Deras membasahi
tiap-tiap payon.
Aku coba
menyusun beling kenangan, masa lalu, yang hanyut bersama arus waktu. Kala itu
aku pulang, dari kampus itu. Pada sebuah sore yang semakin lebat beriring
tetes-testes air. Mungkinkah hari, akan membawaku sejanak tertawa ?
setidaknya menertawai diri sendiri yang angkuh dan tak peduli.
Setiap sore,
dan aku masih ingat, seorang tua yang tak bisa melihat warna dunia selalu
berjalan pulang. Dari arah kampusku di Jalan Pramuka hingga lenyap disekitaran
Taman Siswa. Teradang ganjil dan muram, bahkan aku tak kuasa melihat daya
hidupnya. Ditengah hidup yang makin menyendiri dan mementingkan diri sendiri,
ditengah kematian makna dan hancurnya nilai kemanusiaan.
Kakek tua yang
buta itu menembus arus, memecah deras hujan sore itu. Tongkatnya selalu
berbunyi gemerincing, seperti bunyi kaleng yang dipantulkan. Ia melawan
keterbatasannya, mencari kehidupan, sekedar sesuap nasi.
Diantara
orang-orang yang kalah dan menghamba diri pada orang lain, meminta-minta,
mengemis dijalan-jalan. Orang tua itu tak mau, hidupnya tergantung pada orang
lain. Segala kekurangan yang telah menjadi nasib tak menghentikan derap
langkahnya untuk mencari nafkah yang berkeringat. Memijat-mijat siapa saja yang
merasa pegal.
Dan aku tahu,
aku malu, tubuhku yang lengkap ini terkadang aku hujat. Tak tahu syukur, atas
segala rahmat juga nikmat tiada tepermanai dari-Nya—sang maha dari segala maha.
Kakek tua tuna
netra itu, kini, sudah tak lagi terlihat, barangkali ia adalah sejenis antidot,
untuk kehidupan yang terlampau sering memuja nafsu, yang tak ingat, juga tak
mengacuhkan cinta terhadap sesamanya dan damai dengan dirinya.
Komentar
Posting Komentar