Langsung ke konten utama

Post-Humanisme



“Manusia adalah suatu ketiadaan di hadapan keterbatasan, suatu keseluruhan di hadapan ketiadaan, suatu pertengahan diantara keseluruhan dan ketiadaan.” –Blaise Pascal

Ihwal manusia hidup dalam dunia ini memang menjadi sebuah misteri yang tak pernah selesai untuk di taja dan di tafsirkan. Manusia sebagai individu (subjek) niscaya tak akan bias hidup soliter dalam dirinya sendiri tanpa orang lain disekelilingnya. Demikian juga alam semesta sebagai ruang yang mewadahi manusia itu. dengan demikian, selalu saja tercipta sebuah hubungan dalam setiap perjumpaan antar pelbagai entitas tersebut, terutama manusia, yang menjadi gembala “ada” itu sendiri.
Manusia selalu saja memiliki rasa skeptis dan penasaran akan setiap apapun yang ia jumpai, cerapi, dan rasai. Akal manusialah yang menyebabkan manusia selalu saja tak puas. Dan hasrat pula yang menyebabkan manusia terus memacu dayanya. Ibarat pisau bermata dua, akal selalu dalam tarikan dengan hasrat, kepastian menjadi neraca ketika akal bekerja, sebaliknya hasrat berdiri diseberang dengan ukuran yang tak pasti dan selalu bergejolak untuk memuaskan diri yang tak kunjung ada titik akhirnya.
Namun, karena keterbatasan dan kefanaan yang diinsyafi oleh sang manusia itu pulalah manusia kemudian mencari sosok yang hakiki. Sebuah sosok yang tak terbatas apapun. Manusia pun mencari dan terus mencari sebuah sosok agung itu. ditemukanlah apa yang dinamainya “Tuhan”, “logos”, “keadilan”, “kebenaran”, ad infinitum. Semua adalah hasil imaji dari kinerja akal, hasrat, ego, dan nuraninya yang terpanggil dalam dimensi ruang-waktunya.
Ibrahim adalah satu sosok “penemu” pertama konsepsi Tuhan dalam tingkatan transendensi. Tuhan tak lagi sebuah representasi berupa patung, matahari, api, dst. Tuhan adalah sebuah konsep yang bukan konsep. Dia “ada” dalan ketia”ada”annya. Tak dapat dijangkau nalar, hanya dirasakan dalam iman.
Tuhan kemudian mewartakan diri melalui jalan wahyu melalui utusan-utusannya yang memperbaiki taraf hidup manusia agar lebih bermartabat dengan moralitas. Diterjemahkanlah kemudian “bahasa Tuhan” itu ke dalam kitab suci yang diyakini melampaui sejarah. Disana ada aturan yang rigid, ada cerita, kiasan, pedoman hidup, dan konsep teologi tertentu. Yang kemudian semua itu dianggap “sempurna” dan harus diyakini kebenaran universalnya tanpa ruang untuk bertanya. Namun, permasalahannya kemudian adalah pada truth claim bahkan salvation claim darinya dengan mengatasnamakan Tuhan. Diluar dari keyakinan eksklusif itu dianggap yang asing dan harus dibinasakan, kafir, bidah.
Peradaban Eropa abad pertengahan adalah contoh gamblang dari institusionalisasi dogma-dogma. Agama (kristiani) kemudian menjadi otoritas yang tak terbantahkan. Namun celakanya agama ditafsirkan dalam satu bahasa. Ditambah dengan otoritasnya yang juga menjangkau dimensi politik. Nalar kemudian dekebiri karena dianggap nisbi, ia harus tunduk pada teks yang sacral. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan “the dark age” dimana agama menjadi candu “kekuasaan”, bukan malah membebaskan tapi mengesploitasi dan menglienasi manusia dari keduniawiannya yang otentik.
Karena saking kuatnya cengkeraman “tuhan” yang mengebiri kebebasan manusia. Muncullah gerakan budaya Renaissance yang mengawali lahirnya peradaban rasional. Konsepsi tentang segalam macam hal-ihwal dipertanyakan kembali. Peradaban yang dulunya terpusat kepada Tuhan kemudian dipusatkan kepada manusia. Manusia bebas dengan rasionalitasnya untuk membentuk pandangan-dunianya (world-view) sendiri. Disinilah titik awal kesangsian manusia pada “tuhan”, karena tuhan dianggap sebagai sumber mala yang mengebiri kebebasan manusia kearah kemajuan dan emansipasi.
Lahirlah kemudian modernitas. Dipantik oleh Descartes dengan adagiumnya “cogito ergo sum”—saya berfikir maka saya ada. Senjakala dogma agama mulai terganti dengan semangat pencerahan lewat jalan penalaran rasional. Semua yang rasional kemudian dianggap aksioma dasar sebuah kebenaran. Manusia kemudian menjadi pusat dari segala sesuatu. Tuhan kabarkan “kematiannya” dan agama dipinggirkan otoritanya sebatas di ruang privat. Sekularisasi ruang public dari cengkeraman dogma agama dirayakan sebagai pendulum kemajuan kemanusiaan. Humanisme seakan berkata bahwa manusia berasal dari “dunia-sini” bukan dari “dunia-sana” yang terperangkap dalam daging.
Dari sini modernitas telah membawa manusia kearah yang tak terpikirkan sebelumnya. Sebuah trajektori kemajuan yang juga membawa manusia teralienasi kembali ke jurang dehumanisasi. Memang kemajuan dalam tataran ilmu pengetahuan dan teknologi semakin hari semakin mutakhir. Humanisme secular yang menampik Tuhan itu tumbuh dalam kendali manusia. Kebahagiaan dan kesejahteraan pun tak lagi ditafsir ada di “dunia-sana” tapi diupayakan kini dan disini (hic et nunc).
Optimisme zaman yang berpusat kepada manusia ini bukan tanpa patologi. Dibalik kemegahan modernitas, manusia ternyata semakin terasing. Tuhan yang dulu di dunia-sana dalam modernitas ada di dunia-sini. Manusialah yang kemudian menggantikan peran Tuhan dengan rasionalitasnya.  Peradaban manusia tanpa Tuhan dengan memusatkan diri pada Tuhan di zaman pertengahan pun tak jauh berbeda. Otoritarianisme dan absolutisasi terhadap sebuah “narasi besar” pun tak dapat dihindari. Implikasinya memancanglah oposisi-biner dalam dunia-hidup manusia. Dogmatisme ala agama tergantikan oleh dogmatisme sains, rasio, pasar, yang kemudian membungkam kebebasan manusia kembali. Manusia semakin menjadi budak bagi dirinya sendiri. Seiring itu, kapitalisme dan kolonialisme menambah daftar panjang keterasingan manusia.
Muncullah kemudian post-modernisme yang membongkar segala macam klaim universalitas yang dipaparkan oleh narasi-narasi besar yang dilahirkan modernitas. Konsepsi manusia sebagai subyek yang totaliter pun semakin direduksi ke aras yang lebih egaliter. Hal ini mengawali runtuhnya segala macam totalitarianism yang mengeram dalam pandangan-dunia manusia modern. Proses yang seringkali disebut decentring the subject ini membawa manusia menginsyafi posisi ontologis eksistensinya didunia. Heidegger-lah sosok yang mendestruksi filsafat barat modern dan meradikalkannya pada aras ontology. Manusia adalah Dasein.  Dimana keberadaanya merupakan akibat dari persentuhanya dengan dunianya. Menurutnya, humanisme antroposentris yang berpusat pada manusia telah “melupakan” hubungan antara “hakikat” dengan “ada”. Hakikat tidak sama dengan ada, bagaimana ada menyingkapkan dirinya juga bagaimna hakikat itu diringkus. Humanisme merupakan bagian dari sejarah tentang “ada” yang menjelaskan hakikat sebagai sesuatu yang permanen, tertata rasional, dan universal seperti alam semesta. Pemahaman akan “ada” semacam ini mengawali era rasionalisme dan disebut dengan “substansi”. Manusia kemudian menjadi ukuran segala sesuatu, karena dengan kemampuan nalarnya dirinya, dunia, dan Tuhan ditafsirkan dan dimaknai.
Di titik ini kritik Heidegger bergema, dimana menurutnya manusia tidak dapat diringkus kedalam sebuah hakikat atau substansi karena ia adalah suatu Ek-sistenz. Artinya, manusia bukanlah inti yang oleh humanisme modern disebut subyek, karena ia akan selalu berdiri diluar pusat itu—sudah berada disana (Dasein). Manusia kemudian bukan menjadi pusat yang menjadi penentu satu-satunya yang berkuasa atas pusat kenyataan dan sejarah. Manusia adalah “gembala ada” yang selalu saling mengandaikan dengan realitas eksistensinya.
Subyek yang totaliter itu kemudian diperlemah agensinya untuk hidup dalam harmoni. Akan tetapi, Foucault menambah daftar panjang perjalanan humanisme dengan “membunuh manusia”. Manusia sebagai subyek menurutnya telah mati—bahkan tak ada. Manusia hanyalah bentukan kekuasaan, diskursus, bahasa, dan sistem-sistem yang melingkupi kehidupannya. Dengan “kematian” manusia ini melahirkan sebuah diseminasi gerakan-gerakan marjinal. Semua narasi-narasi kecil yang dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni narasi besar memunculkan dirinya dan menunjukkan eksistensinya yang tak diakui. Emansipasi “yang-lain” pun bercokol sebagai akibat runtuhnya klaim universalitas.
Namun, disini humanisme masih menyisakan patologinya tersendiri. Manusia meskipun sudah “terdekonstruksi” dalam subektivitasnya dengan yang-lain (the other) dalam kesetaraan dan pengakuan pluralitas, dirasa masih tidak cukup. Hal ini lah yang mengundang Levinas membongkar “kekerasan metafisika” (the violence of metaphysics) dalam pemikiran filsafat barat. Kekerasan itu terjadi terhadap penampikan the other oleh dominasi ego sebagaimana tercermin pada manusia modern. Begitu pula ia mengkritik Heidegger yang terjebak dalam ontology. Ontology Heideggerian—meskipun berjasa membongkar totalitas subyek modernitas—mengabaikan etika dan moral sebagai aspek penting dalam relasi antar manusia. Dengan menolak pandangan Heidegger, Levinas mengacu konsepsinya pada aras etika terhadap yang-lain. Disini levinas mengembalikan transendensi ketuhanan dalam hubungan manusia. Ia memetaforkan wajah sebagai sebuah epifani yang-tak-berhingga (infinity) sebagai bagian dari diri manusia. Disini, bisa ditafsirkan bahwa dengan beriman kepada Tuhan, manusia sudah dalam presuposisinya untuk menghargai, bahkan menanggap yang-lain itu sebagai dirinya sendiri. Dalam terang pemikiran ini, humanisme tidak harus selalu anti-tuhan sebagaimana modernitas yang kecewa dengan agama pada zaman pertengahan.
Sebagaimana dikatakan derrida bahwa hari ini adalah zaman dimana “kembalinya agama-agama”. Agama mendapatkan posisinya kembali pasca-sekularisasi dalam ruang public politik. Hal ini jelas membawa implikasi lebih lanjut dimana “kemanusiaan” tak harus menampik tuhan, yang justru mengalienasi manusia seperti tertampang dalam humanisme modern. Oposisi-biner yang seringkali dipertentangkan antara teosentrisme dan antroposentrisme sudah sejatinya diakhiri dimasa ini. Dimana masa ini adalah masa “post-humanisme” yang bercorak teo-antroposentris dimana kedua kutub yang dalam sejarah saling antagonis itu kini saling melengkapi dan mengandaikan. Kontaminasi keduanya dimaksudkan untuk tidak memisahkan antara nalar dan iman. Keduanya adalah bagian yang tak bisa kita lepaskan didunia ini, dimana iman yang berpedoman pada kitab suci tak akan menjadi maju dan emansipatif manakala peran akal-budi sebagai alat penafsir tak diacuhkan.
Maka dari itu, peradaban hari ini adalah peradaban dialogis, yang mana seiring pluralitas yang melimpahruah. Proses pembentukan dunia-kehidupan (lebenswelt) haruslah terus dipermatang dalam sebuah dialog terus-menerus untuk menemukan kebaruan atau dalam istilah Arkoun “yang tak terfikirkan”, sehingga peradaban tidak mati dalam stagnansi pula tidak terjebak dalam klaim universalitasnya sendiri sebagai yang berhak menafsiri kebenaran dalam kecenderungan dirinya sendiri [...]

Komentar

Populer