Langsung ke konten utama

Tanyailah aku sebelum kau kehilangan aku…hujan!


Cahaya pagi memantul pada tubir jendela. Putih berjendera, warna-warni tertabur, bertebaran di kaki bukit, melintas padu, menggerayangi desau angin. Aku tahu, hidup tak selamanya bahagia, seperti kabut ungu yang tipis-tipis turun dalam suram hutan hujan. Pagi pun tak selalu indah dan ramah, terkadang kau tak harus tahu alasan mengapa kau tak diacuhkan. Tapi embun tetap berkilau, basah mengendap di hijau-hijau rumput dan tanah-tanah kemarau yang tandus.
“Dengar detak jantungmu…”
Cinta suci yang palsu, bahkan tak ada. Ia menggelambir dalam anyir mulut terhina, pucat pasi menopengi lembut auranya dalam sukma, ia terlalu dalam untuk kau perdengarkan dan kau lihat dengan telinga dan mata biasa—sehingga nampak fana.
Barangkali lazuardi sudah tak miliki warna, dalam cahaya, membuai alur kehidupan yang rasanya semakin tak bergema. Matahari pagi yang bersinar cerah pun serasa keruh, tak selembut dahulu saat jalan-jalan kotaku tak cemar dengan hitam pekat karbon. Cinta yang mana? Kau manusia, kau wanita, pernahkah engkau sejenak rasakan pahit bunga-bunga tuba?  Semua sudah menghapusku dalam pecah-pecahan relung waktu. Atau pada sejumput kenangan yang terangkai dan terandai tapi lenyap sebelum terkembang?
Dan…Suara liris mulai bergema, denting-denting piano menelusup cerah pagi dengan nada yang tak bergembira, hingga tak kuasa, menahan riuh air mata…
Kemanakah harapan dalam kenyataan?
Aku yang hampa,
ingin bercerita…

Ditelingaku suaramu merdu
Merenggut hati dan berlinang
Airmata jatuh, dalam gelap
Kesepian

Mencintai
dan memutihkan kegelapan
Hatiku yang hampa dan tak berperasaan
Ku nyanyikan senandung kematian
Selamanya kita perdengarkan…
Suara-suara sayu mengiring nada-nada dalam partitur buta piano yang semakin menjerit dalam keheningan pagi, kamis ini, kini dan disini, awal mula bulan Oktober yang hambar, tanpa wajah ayumu yang semakin jauh terbawa putaran arus bumi.
Kau tak akan pernah mengerti, betapa perasaan hatiku semakin lepuh dan menghitam dalam gelap dan sepi-sepi ruang. Tanpa jejak-jejak rindu yang tertuang, kepada siapa? Bahkan mati rasa, ketiadaan bahkan kekosongan, rasa cinta itu semakin tak kurasakan.
Dalam hening soliloqui saat dini hari, saat mata-mata terlelap dalam bunga-bunga tidurnya, dalam wangi sujud yang bahkan semakin hilang tak terasa. Aku ingin hanyut lagi, aku ingin kembali, aku ingin mencintaimu lagi, mencintai yang tak bisa kucintai, mencintai sunyi hakiki, tapi dimana?
***
Hujan-hujan semakin tak kunjung turun, hanya murung mendung selalu menyembunyikan biru langit. Tapi hari ini terlihat berbeda, matahari cembung, angin tak bersiul, dan tepat matahari memungut kakinya dari tengah hari, hujan turun. Hujan kembali turun, membasahi aku,  kau, kita, mereka, yang semakin tak ada—tak pernah ada. Tanah-tanah yang kuyup juga hijau tetumbuhan yang terlihat berkilau. Barangkali esok akan lebih baik lagi?  lebih intim, masuk ke dalam renungan yang sungguh-sungguh, dan benar-benar membuai rasa haus estetik, dan akan ku temukan lagi, wajah-wajah asing, mengenal yang asing, mencintai yang asing. Ditempat yang lain. Pada ruang yang lain, saat aku tak lagi mengiangmu.
Tapi hati sudah telanjur gelap dan senyap. Seperti bangkai. Bau busuk menyeruak. Rasa yang cemar terapung-apung menuju kaki langit. Selebihnya cuma erang sekarat, di antara sisa luka yang patah. Warna di sana hanya anyir merah darah. Tak akan ada lagi yang sejati. Yang kini sepi. Dia pun semakin membisu tak mengacuhkan aku, melenyapkan aku, capek memandangi balairung yang lengang. Apa, setelah ini? Akan apa lagi?
“Sesungguhnya wanita (sanggup) menyembunyikan cinta selama empat puluh tahun, namun tidak (sangup) menyembunyikan kebenciaan walau hanya sesaat…”
Sungguh kata-kata Imam Ali membuat hatiku semakin sayu, seperti warna lusuh gorden yang terserap matahari, semakin hilang, tanpa aura. Aku tahu, aku bukan apa-apa dimatanya. Tapi salahkah aku? Yang mencintainya dalam spiral-spiral puisi, aksara, dan kata tanpa mantra?
Barangkali suara-suara merdu yang diperdengarkan dalam ritmis senja dan pujangga-pujangga dengan sajak-sajaknya, akan membawa kembali rasa itu. Pada ungu langit, pada tanah lempung, pada angin semilir dan sungai-sungai yang mengalir, disanalah, aku akan menunggumu, menikmati sendiri, menikmati hujan pagi kenangan saat kita tak kembali bersua, disini, ditanah ini…
“Tanyailah aku sebelum kau kehilangan aku…hujan!”
 […]  

Komentar

Populer