Cahaya
pagi memantul pada tubir jendela. Putih berjendera, warna-warni tertabur,
bertebaran di kaki bukit, melintas padu, menggerayangi desau angin. Aku tahu,
hidup tak selamanya bahagia, seperti kabut ungu yang tipis-tipis turun dalam
suram hutan hujan. Pagi pun tak selalu indah dan ramah, terkadang kau tak harus
tahu alasan mengapa kau tak diacuhkan. Tapi embun tetap berkilau, basah
mengendap di hijau-hijau rumput dan tanah-tanah kemarau yang tandus.
“Dengar
detak jantungmu…”
Cinta
suci yang palsu, bahkan tak ada. Ia menggelambir dalam anyir mulut terhina,
pucat pasi menopengi lembut auranya dalam sukma, ia terlalu dalam untuk kau
perdengarkan dan kau lihat dengan telinga dan mata biasa—sehingga nampak fana.
Barangkali
lazuardi sudah tak miliki warna, dalam cahaya, membuai alur kehidupan yang
rasanya semakin tak bergema. Matahari pagi yang bersinar cerah pun serasa
keruh, tak selembut dahulu saat jalan-jalan kotaku tak cemar dengan hitam pekat
karbon. Cinta yang mana? Kau manusia, kau wanita, pernahkah engkau sejenak
rasakan pahit bunga-bunga tuba? Semua
sudah menghapusku dalam pecah-pecahan relung waktu. Atau pada sejumput kenangan
yang terangkai dan terandai tapi lenyap sebelum terkembang?
Dan…Suara
liris mulai bergema, denting-denting piano menelusup cerah pagi dengan nada
yang tak bergembira, hingga tak kuasa, menahan riuh air mata…
Kemanakah harapan dalam kenyataan?
Aku yang hampa,
ingin bercerita…
Ditelingaku suaramu merdu
Merenggut hati dan berlinang
Airmata jatuh, dalam gelap
Kesepian
Mencintai
dan memutihkan kegelapan
Hatiku yang hampa dan tak berperasaan
Ku nyanyikan senandung kematian
Selamanya kita perdengarkan…
Suara-suara
sayu mengiring nada-nada dalam partitur buta piano yang semakin menjerit dalam
keheningan pagi, kamis ini, kini dan disini, awal mula bulan Oktober yang
hambar, tanpa wajah ayumu yang semakin jauh terbawa putaran arus bumi.
Kau
tak akan pernah mengerti, betapa perasaan hatiku semakin lepuh dan menghitam
dalam gelap dan sepi-sepi ruang. Tanpa jejak-jejak rindu yang tertuang, kepada
siapa? Bahkan mati rasa, ketiadaan bahkan kekosongan, rasa cinta itu semakin
tak kurasakan.
Dalam
hening soliloqui saat dini hari, saat mata-mata terlelap dalam bunga-bunga
tidurnya, dalam wangi sujud yang bahkan semakin hilang tak terasa. Aku ingin
hanyut lagi, aku ingin kembali, aku ingin mencintaimu lagi, mencintai yang tak
bisa kucintai, mencintai sunyi hakiki, tapi dimana?
***
Hujan-hujan
semakin tak kunjung turun, hanya murung mendung selalu menyembunyikan biru
langit. Tapi hari ini terlihat berbeda, matahari cembung, angin tak bersiul,
dan tepat matahari memungut kakinya dari tengah hari, hujan turun. Hujan
kembali turun, membasahi aku, kau, kita,
mereka, yang semakin tak ada—tak pernah ada. Tanah-tanah yang kuyup juga hijau
tetumbuhan yang terlihat berkilau. Barangkali esok akan lebih baik lagi? lebih intim, masuk ke dalam renungan yang
sungguh-sungguh, dan benar-benar membuai rasa haus estetik, dan akan ku temukan
lagi, wajah-wajah asing, mengenal yang asing, mencintai yang asing. Ditempat
yang lain. Pada ruang yang lain, saat aku tak lagi mengiangmu.
Tapi
hati sudah telanjur gelap dan senyap. Seperti bangkai. Bau busuk menyeruak.
Rasa yang cemar terapung-apung menuju kaki langit. Selebihnya cuma erang
sekarat, di antara sisa luka yang patah. Warna di sana hanya anyir merah darah.
Tak akan ada lagi yang sejati. Yang kini sepi. Dia pun semakin membisu tak
mengacuhkan aku, melenyapkan aku, capek memandangi balairung yang lengang. Apa,
setelah ini? Akan apa lagi?
“Sesungguhnya
wanita (sanggup) menyembunyikan cinta selama empat puluh tahun, namun tidak
(sangup) menyembunyikan kebenciaan walau hanya sesaat…”
Sungguh
kata-kata Imam Ali membuat hatiku semakin sayu, seperti warna lusuh gorden yang
terserap matahari, semakin hilang, tanpa aura. Aku tahu, aku bukan apa-apa
dimatanya. Tapi salahkah aku? Yang mencintainya dalam spiral-spiral puisi,
aksara, dan kata tanpa mantra?
Barangkali
suara-suara merdu yang diperdengarkan dalam ritmis senja dan pujangga-pujangga
dengan sajak-sajaknya, akan membawa kembali rasa itu. Pada ungu langit, pada
tanah lempung, pada angin semilir dan sungai-sungai yang mengalir, disanalah,
aku akan menunggumu, menikmati sendiri, menikmati hujan pagi kenangan saat kita
tak kembali bersua, disini, ditanah ini…
“Tanyailah
aku sebelum kau kehilangan aku…hujan!”
[…]
Komentar
Posting Komentar