Langsung ke konten utama

Entah, aku tak tahu





Akhir-akhir ini dunia hidupku semakin tak menentu arah. Hilang segala sunyi, yang-hening. Aku tak tahu, kenapa semua semakin menghambur lepas, meniadakan wujud keaslian. Spiritualitas ku perlahan meluntur, lenyap, seolah merasa jumawa dalam keramaian diri.
Sholat, sebuah ritual yang seringkali dan setiap kali, setiap waktu aku jalani kini semakin tertinggal. Enggan, begitu kata yang mungkin tepat melukiskannya. Tuhan ? tampak teramat jauh bagiku, mungkin orang berkata Dia-lah yang Maha, Ruh-semesta, yang tak diciptakan, tak pula diperanakkan, demikian seringkali aku dengar beberapa konsep absurd yang tampak mengerikan. Mengerikan, karena aku ditakut-takuti api, siksa, pedih, neraka jahanam yang siap melahap. Juga diimingi sorga, sebuah imajinasi tentang utopia, dimana seluruh bahagia tertera.
Namun, tampaknya memang bukan karena aku tak percaya, atau mengingkari bahwa aku hanya makhluk yang tercipta. Iman yang berdasarkan ‘kepercayaan’ itu bukan berarti harus dengan membuntut apa saja yang sudah tampak final, atau mungkin ‘sempurna’. Mungkin bukan bermaksud subversif, bukan pula menampik segala yang sudah mapan, bukan juga lari dari tanggung-jawabku sebagai penganut agama, tapi lebih kepada mendekati Tuhan dengan cara yang-lain.
Mungkin ini aneh, atau gila, toh banyak orang merasa beragama tapi tak menjalani ritual eksoterik yang sudah dikodifikasi dalam aturan yang rigid. Itu lebih gila, kita percaya tapi melenggang semaunya tanpa peduli, atau tak tahu menahu, atau sengaja tak tahu ? ya, aku pun ingin merasakan sejenak jadi seorah bidah, kafir, yang tak selalu patuh pada aturan. Mencoba mencari, siapa Tuhan yang menghidupi, menggerakkan ruh yang berada dalam jiwaku. Siapa Tuhanku yang sebenarnya, sejatinya? Kenapa karena-Nya manusia rela saling tusuk menusuk, saling membunuh, hanya karena jalan yang berbeda?
***
Terkadang aku ingin tertawa, menertawa diri, menertawa hidup. Kehidupan ! oh, betapa peliknya, betapa muramnya, dimana bahagia?
aku tertawa pada diri, pada hidupku yang teramat lucu, sungguh seperti pemeo yang membikin orang geli mendengarnya. Hidupku, seperti daun kering yang lepas diterpa angin selatan yang kecang menghembus.
Mungkin, segera setelahnya hidup hanya sekejap cerita. Ada suara masygul, ada rasa sayu, ada ingatan yang tak mampu terbaca juga yang menggerayangi hari-hariku riuh terhina, dan berikutnya cinta. Pada cinta aku tertawa, untuk Tuhan, untuk seorang wanita, untuk apa saja yang hilang tapi pernah menyisa rasa. Aku tak paham, layaknya waham, cinta itu hadir, tapi seketika menusuk, menghunus jiwa, tanpa rasa iba. Dan karenanya aku tertahan, aku tertahan oleh sisa-sisa yang memercik disela hati, seperti padanya, mungkin itu cinta yang dalam, tapi sudahlah, orang kecil, orang kerdil tak layak menapak wajahnya.
Usianya melebihi diriku, yang barangkali, menggapku sekedar main rasa. Ah ! dunia tapi kau hanya sarana, kau bukan tujuan hidupku yang entah kapan berlalunya. Cinta mungkin cinta, ia terejawantah saat waktu menapakkan dirinya dalam ruang kehidupan. Mungkin sejenis destopia, tapi tetap ada semacam harapan, ada sebuah eskatologi yang terbayangkan.
Hidup ini memang absurd, aku memang bebas, aku dikutuk menjadi bebas. Dan diantara kebebasan itu manusia memilih, manusia berfikir, manusia berzikir, manusia berikhtiar, manusia menentukan arahnya. Meski, kita tahu, pilihan itu tak berarti tepat, tak selalu sesuai apa yang diharapkan, tapi ditengah ketak pastian itu hidup jadi semakin berarti.
Barangkali, dari sela hidup yang tak terlampau ingin itu aku tahu, kemana aku meski menuju, kemana aku menjadi, kemana kau bermuara. Ditengah keriuhan dunia, ditengah manusia yang memberhalakan segala dunia, ditengah ketaksadaran yang membelenggu tapi kita menikmatinya, diantara semua itu aku akan melaju, aku akan menuju sebuah tempat yang mungkin tak harus aku tahu…

Komentar

Populer