"We must die as egos and be born again in the swarm, not separate and self-hypnotized, but individual and related." —Henry Miller, Sexus
Hasrat selalu saja dikambing-hitamkan sebagai
biang kekacauan dan ketidakteraturan dalam hidup manusia. Dalam sejarah
perjalan kehidupan, hasrat diposisikan pada kasta terlaknat, rasiolah yang
menjadi ukuran normatif sebagai kriteria menuju kehidupan yang utama (Arȇte).
Sejak fajar filsafat merekah di Yunani, hasrat sudah dicurigai sebagai fakultas
minor yang mengakibatkan kesesatan. Bahkan Platon menganggap bahwa hasrat harus
disingkirkan dengan mengoptimalkan rasio sebagai jalan menuju Eudaemonia
(kebahagiaan), singkat kata rasiolah yang bisa menuntun manusia kepada
Kebenaran, cinta, pengetahuan, maupun logos.
Hingga munculnya renaissance yang membawa
modernitas, rasio masih saja dijadikan faktor determinan kearah kemajuan dan
emansipasi. Dari Descartes dengan adagiumnya Cogito ergo Sum—Aku
berfikir maka aku ada, hingga Kant dan Hegel yang menjadi “narasi-besar” (meta-narrative)
modernisme—rasio masih menjadi ukuran utama. Melalui pendewaan rasio inilah peradaban manusia mulai
dibentuk, bahkan bisa dikatakan sejarah tak lebih adalah sebuah “proses
rasionalisasi.”
Dari celah zaman yang terlampau mengagungkan
rasio inilah datang sang filsuf palu martil, Nietzsche. Ia kemudian
memproklamirkan kematian rasio dengan kehendak-menuju-kuasa (will to power).
Nietzsche mengawali lahirnya sang “anak hilang” yang sekian lama dianggap
sebagai sumber mala: Hasrat. Pada aras ini, Nietzsche mencurigai segala klaim
rasionalitas yang tak lebih hanya buah hasil dari hasrat-hasrat yang
berjuntai—yang secara implisit hasrat selalu menggerayangi dibalik
rasionalitas. Dengan kata lain, Nietzsche menggantikan aktivitas berfikir (vita
contemplativa) dengan kehendak, berfikir tak lain adalah kehendak untuk
penguasaan.
Memang ketika bebicara rasio tentu yang akan
menjadi ketentuan normatifnya adalah kepastian, sementara hasrat berdiri
diseberang dengan ketakmenentuan. Tak ayal jika hasrat seringkali dicurigai
sebagai sumber kekacauan. Sementara rasio membuat sebuah tatanan, hasrat justru
membongkar segala macam tatanan yang mapan (status-quo). Sehingga hasrat
harus selalu dijinakkan agar kelestarian sebuah tatanan (order) dapat
terjaga, maka subyek hasrat harus selalu
dikondisikan agar patuh terhadap segala macam kode-kode social yang
dikonstruksi dalam rentang historis itu. Karena pada dasarnya penjinakan hasrat
dalam tatanan masyarakat adalah bertujuan untuk mereproduksi dan melanggenkan
kemapanan yang sudah diterima sebagai kebenaran umum (common sense).
Selain itu, juga melanggengkan otoritas rasio atas hasrat sebagai satu-satunya
instrument yang digunakan untuk meng-humanisasi-kan sejarah.
Pada aras inilah Gillez Deleuze dan Felix
Guattari muncul dengan melanjutkan proyek Nietzsche. Mereka merayakan “matinya
rasionalitas” dan menggantinya dengan hasrat. Rasio diadili habis-habisan
karena cenderung dianggap mengalienasi sifat asali hasrat yang revolusioner.
Bagi mereka hasrat ada dimana-mana, dan tak mungkin hasrat bisa ditaklukan.
Dalam setiap tatanan social yang sudah sangat rapi, dalam kerasionalan
argumentasi, serta dalam metafisika atau teori yang ‘rasional’ sekalipun selalu
saja tersembunyi sebuah penghakiman nilai (value judgment).
Ibarat pisau, hasrat adalah pisau bermata dua.
Hasrat memiliki ambivalensinya sendiri, atau dalam bahasa Deleuze-Guattari,
hasrat memiliki skizofreniknya tersendiri. Satu sisi hasrat bisa menjadi
senjata ampuh dalam rangka melawan tatanan yang cenderung hegemonik dan
alienatif, seperti kapitalisme. Hanya saja hasrat ini datang dari buah ego,
yang juga berarti hasrat yang dikomando dari dalam, datang dari kesadaran (consciousness).
Dilain sisi hasrat juga punya dimensi ilusifnya sendiri, karena ia dikondisikan
dari luar. Hasrat yang sejatinya selalu menolak pengebirian dan represi
dominative tersebut dijinakkan dengan berbagai macam objek manipulative yang
membuat hasrat lelap tertidur oleh rayuan magis kapitalisme. Kita tahu, bahwa
kapitalisme selalu saja bersifat kekurangan (lack) dalam dirinya
sendiri. Kehebatannya memanipulasi hasrat dan realitas karena kapitalisme
mendekode hasrat dalam lanskap interior agar subjek dipotong relasinya dengan
hasratnya sendiri, dan kapitalisme tak mampu menembus ambang batas eskterior.[1]
Secara genealogis konsep tentang skozofrenia
yang dikembangkan oleh Deleuze-Guattari sebenarnya juga terinspirasi oleh
Jacques Lacan. Dari Lacan mereka mengadopsi konsep tentang tahap-tahap
individuasi bayi (Oedipus) dalam tiga tahap yaitu imajiner, simbolik, dan the
Real. Tahap imajiner adalah fase cermin dimana sang bayi mulai mengadopsi objek
yang bersinggungan dengan luar dirinya (the other). The other atau
medan social inilah yang kemudian mengonstruk ‘kesadaran’ dalam diri sang bayi
untuk mengidentifikasi siapa dirinya. Bayi yang masih fragmentaris itu
memersepsi dirinya dalam cermin yang seolah cemin yang hanya pantulan semu itu
adalah dirinya sendiri. Pada formasi ego
dalam fase cermin ini terdapat alienasi (keterasingan). Sang bayi menjadi
subjek yang sejatinya bukan dirinya sendiri, tapi ia memersepsi keberadaan
dirinya menjadi seolah dirinya.
Proses alienasi pun semakin meruncing ketika
system symbol (bahasa) menyerbu dimensi kognitif sang bayi. Tatanan simbolik
ini semakin mengondisian hasrat skizofrenik yang mengeram dalam diri sang bayi.
Didalam tatanan bahasa itu tersembunyi makna social, logika, dan diferensi. Ia
menjadi subyek dengan menceburkan diri dalam konvensi social yang disebut Lacan
sebagai “ketaksadaran yang terstruktur”.
Apa yang terjadi pada ego (subyek) sejatinya
bukanlah sebuah perjalanan menuju dirinya sendiri, tetapi justru berlawanan
arah. Subyek selalu saja diombang-ambing tatanan social yang dia cerap dalam
fase imajiner dan simbolik, sehingga sang subyek tak perah mencapai keutuhan,
selalu retak, dan tak menetap. Pada tataran inilah kemudian the Real menjadi
sebuah ketakmungkinan, karena pada dasarnya manusia selalu terkurung dalam
penjara imajiner dan simbolik itu tadi. The Real adalah semacam transendensi, Lacan menyebutnya sebagai apa yang sepenuhnya resistan
terhadap simbolisasi. Dalam agama ini bisa disebut Tuhan. Tapi the Real ini
juga sebuah pengalaman yang tak ternamakan—melampaui system tanda. Pada pengalaman
yang Real inilah yang akan menyadarkan subyek (Oedipus) bahwa pada yang imajiner dan simbolik
adalah ilusi belaka.
Pengalaman the Real inilah yang membuat subyek
kemudian bergerak tanpa teritori, subyek meruntuhkan setiap apapun yang melekat
secara simbolik yang disebut juga identitas. Pada pengalaman the Real
senantiasa selalu mendobrak kemapanan identitas, ia bergerak melampaui sejarah.
Hasrat akan identitas yang fixed tak lain adalah pelarian diri dari the
Real.
Pada aras ini, konsep the Real-nya Lacan dalam
momen tertentu memiliki persamaan dengan konsep tubuh-tanpa-organ-nya[2]
Deleuze-Guattari. Hanya saja Deleuze-Guattari lebih bergerak pada tataran
imanensi. Mereka secara provokatif menolak Oedipus yang cenderung alienatif,
pasif, dan patuh pada kemapanan (kapitalisme). Disini mereka menempatkan hasrat
asali manusia sebagai kekuatan yang selalu dalam proses decode, hasrat selalu
mengalir dalam aliran kontinual (hasrat skizofrenik), maka subyek yang dihasilkan adalah subyek transisional
atau subyek yang dalam proses menjadi.
Dalam system kapitalisme yang cenderung
manipulative, hasrat selalu dikondisikan untuk mengonsumsi, memiliki;
ketamakanlah yang dijadikan matra untuk pemuas hasrat yang tentu tak akan
terpuaskan. Hasrat yang sejatinya bersifat revolusioner dan selalu mengarah
pada pembebasan diri kemudian selalu dikurangkan (lack) untuk displacement
terhadap pemunuhan hasrat. Kapitalisme selalu bergarak pada ambang batas interior hasrat agar tak mencapai ambang
batas eksterior, disini hasrat dimanipulasi habis-habisan dengan rasionalisasi
yang logis tapi sebenarnya ia kontradiktif. Dalam lokus ini, Oedipus (bisa
disebut juga individu ‘biasa’ atau skup besarnya ‘masyarakat’) ada dimana-mana,
subyek oedipal ini memfasiskan dirinya dalam genggaman imaji-imaji hasil
rekayasa kapitalisme.
Disinilah sebenarnya ihwal keterasingan
manusia, dimana hasratnya dikebiri (kastrasi) oleh imaji fethis kapitalisme
yang hanya bermuara pada akumulasi capital (nilai-lebih). Dalam hal ini
pembebasan yang ditawarkan Deleuze-Guattari adalah mengembalikan hasrat asali
manusia yang disebutnya hasrat skizofrenik. Skizo selalu bergerak tanpa henti
melampaui sejarah dan rasionalisasi. Skizofrenia yang juga tanpa identitas ini
disebut Foucault—dalam pengantar buku anti-Oedipus—sebagai seni non-fasis. Yang
mana subyek selalu tak mudah ditaklukan oleh rantai imajiner maupun simbolik ciptaan “kekuasaan”. Jadi
subyek yang otentik adalah subyek yang tanpa teritori, ia selalu menjadi dan
terus menjadi tanpa titik akhir narasi. Tidak ada keadaan yang “pasti” dalam
proses menjadi, sebab kepastian itu sendiri juga nama lain dari identitas!
[…]
[1] kapitalisme hanya bisa menghadirkan batas interior (the absence)
dalam batas interiornya. Kekuatan kapitalisme pada akhirnya hanya berputar dan
merepetisi aksioma baru untu menutupi batas interiornya. Contoh: Merk computer
intel selalu saja mereproduksi produknya dengan berbagai kekurangan (lack)
agar pada tahap-tahap selanjutnya ada produk dengan spesifikasi yang
dilebihkan. Lebih jelas Lih. Agustinus hartono, Skizoanalisis,
(Yogyakarta: jalasutra) hlm. 98-100.
[2] Sebagaimana Deleuze-Guattari tubuh tanpa orgam merupakan
“ruang antara” (space in between) yang selalu bergerak tanpa kendali dan
anti-kemapanan, dalam arti ini ia adalah proses trans-historis. "The
body is the body/it is all by itself/and has no need of organs/the body is
never an organism/ organisms are the enemies of the body." Implicit
disini tubuh tanpa organ merupakan “ketelanjangan”, sebuah ruang yang tak bisa
ditangkap oleh kode apapun, inilah skizofrenik murni. Lih. Deleuze-Guattari,
Anti-Oedipus, (USA: Viking penguin 1977) hlm. 8-9.
Komentar
Posting Komentar