"Bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran (truth), maka tanda juga dapat digunakan untuk menipu (lie)..." —Arthur Asa Berger
Setiap waktu kita selalu digedor dan dibombardir oleh beragam informasi dan tanda-tanda. Tinggal buka gadget,
semua informasi langsung terpampang. Namun ironisnya, semua informasi dan
fenomena yang terpampang dihadapan mata kita itu malah bukan membuat kita “pintar”,
tapi sebaliknya malah membuat kita “bodoh” (atau dibodohi?). Kebanjiran informasi yang mengepung dimensi hidup kita itu membuat jurang
yang kontradiktif, antara citraan dan kebenaran, antara realitas dan
hiperealitas—semakin kabur, bahkan tumpang-tindih melebur tanpa ihwal yang pasti.
Ada ribuan imaji yang sengaja dikonstruksikan
untuk para pemirsa, imaji-imaji itu membikin kita takluk, membikin manusia
memersepsi realias melalui dunia symbol yang seringkali semu, palsu, artifisial. Dunia manusia memang bukan dunia natural, tapi dunia kultural yang penuh dengan citra dan imaji. Bahkan, dari imajinasi
kita memersepsi hidup dan kenyataan. Hanya saja, kepungan imaji itu justru tak
kita ciptakan sendiri, tapi dikondisikan oleh sesuatu yang tak jelas
hulunya—anonim. Beraneka teks tanpa konteks (hyper-real) dan kepungan signifier
(pesan) yang kemudian menjadi realitas yang menyelubungi realitas sebenarnya,
seperti thesis Marshal Mc Luhan “Medium is the message”—pesan yang
sejatinya hanya perantara (representasi) sudah menjadi realitas.
Sebagaimana sering kita saksikan dalam
kehidupan sehari-hari, dimana symbol pahlawan—yang sebagaimana kata Ẑiẑek—telah
direduksi menjadi imajinasi yang fethis dan alienatif. Pahlawan sudah menjadi
komoditas tontonan yang hanya membuat kesadaran semu tentang realitas
kebenaran. Pahlawan telah dimanipulasi hanya sebagai sebuah tokoh fiktif yang
juga membela kebenaran yang fiktif dan terlampau hipereal, sebagaimana
tokoh-tokoh macam Superman, Iron man, Batman, Ultraman, dst. Padahal menurut Ẑiẑek:
“Superhero has to enter precisely when normal society cannot do it.” Dari
sini, konsep pahlawan yang sebenarnya adalah manusia revolusioner yang
menentang kemiskinan, perbudakan, diskriminasi, penjajahan, dan semua yang
berbau anti-kemanusiaan, yang juga mau berbaur dengan rakyat—bukan mereka yang hanya
membunuh dan melawan kejahatan fiktif belaka.
Memang dunia imaji fiktif itu makin hari makin
menggeliat dan menerobos alam bawah sadar manusia, yang terutama menerobos
dunia anak-anak yang mudah diperdaya. Pahlawan sejati, pahlawan nasional, yang dipelajari disekolah, sama sekali tak mereka mengerti makna hakikatnya. Mirisnya
pahlawan-pahlawan yang telah berjuang mendirikan bangsa Indonesia ini dengan
tumpah darah dan keringat itu hanya terpampang gagah dalam uang kertas, tapi semangatnya tak
diketahui, bahkan seringkali dilupakan. Kita mungkin lebih mengenal
pahlawan-pahlawan semu seperti batman, superman, dan ultraman, daripada Tan
malaka, Sjahrir, Hatta, Soekarno, dan ribuan pahlawan nusantara lainnya.
Barangkali inilah yang membuat makna
kepahlawanan itu semakin pudar dan nyaris “mati”. Semangat kepahlawanan yang
menolak segala macam penjajahan dan semangat kerakyatan sudah
hampir tak membekas dalam kesadaran anak bangsa. Padahal kita tahu, tantangan
kontemporer hari ini semakin pelik, kompleks, dan berbahaya. Penjajahan tak lagi
menggunakan bedil dan senjata, melalui fisik, tapi penjajahan semakin mutakhir
dengan manipulasi kesadaran (hegemoni) melalui media, citra, symbol, dan juga melalui globalisasi neoliberal yang membuat stratifikasi social tak terperi dan kemiskinan struktural di negara dunia ketiga (seperti Indonesia), selain juga mental korup para anak bangsa yang makin tak malu merampas hak rakyat.
Syahdan, ditengah kegamangan dan buntunya
semangat revolusioner anti-penjajahan para anak bangsa dan matinya jiwa
kepahlawanan yang menghantui muda-mudi kita, tentu masih ada harapan untuk
“melawan” segala macam kepalsuan dan tembok artifisialitas itu. Oleh karenanya, sudah seharusnya pemuda yang bakal meneruskan tampuk
kepemimpinan bangsa tidak hanya diam dan pura-pura tak paham, atau malah apatis, acuh-tak-acuh pada
kondisi “kegalauan” bangsa. Jangan sampai keadaan kita seperti kata Pramodya Ananta Toer: “Wahai pemuda jangan pura-pura bego dengan keadaan ini.”
Maka, momentum hari pahlawan 10 November 2012
ini adalah momentum untuk merefleksi diri, merefleksi makna kepahlawanan yang tak sekadar kepongahan naïf—hanya mengabdi
pada keuntungan pribadi—tapi lupa dengan tujuan hidup kita sebagai manusia,
tujuan menciptakan emansipasi kolektif untuk mencipta dunia yang berkeadilan,
berperi-kemanusiaan, dan berkesejahteraan dalam terang
kedamaian hidup bersama. Spirit yang sudah dicontohkan para bapak bangsa macam Tan malaka
dengan merdeka 100%-nya, Hatta dengan pendidikan kerakyatannya, Soekarno dengan
anti-penjajahan dan semangat revolusinya setidaknya hari ini masih relevan, karena
penjajahan sampai detik ini masih belum berakhir […]
Komentar
Posting Komentar