Tiga puluh menit sebelum pesta pernikahan kawan
kuliahku (simbok) dimulai, jarum jam sudah Nampak menunjuk angka 10.30. ini
pagi begitu meresap dengan suaka cita, dengan sejumput rasa asing yang menyita,
begitu juga ego yang makin tak tentu arahnya. Semalam suntuk aku menelusup
waktu, membincang hal-ihwal, selepas mengisi diskusi politik yang penuh
kegeraman, pergulatan teori, juga menyambut rancang gagas yang kadang jadi
semacam utopia.
Mungkin baginya, simbok, momen ini amat special dan
begitu menyita sejumput pembauran rasa. Aku tak tahu pasti, tapi yang jelas
senyum ceria, bahagia, menyerta tiap-tiap waktunya. Apalagi, sudah sejak masa
kuliah dulu simbok selalu gusar dan barangkali inginkan sesegera lulus agar
cepat-cepat menuju pelaminan.
Tentu saja, kami dating bersama-sama sepasukan ‘mantan’
kelas E2 yang sudah banyak yang terfragmentasi—sibuk dengan kesehariannya
masing-masing, untuk menuju cita yang ditajanya. Ada sedikit ego yang mengeram
dihatiku, entah apa. Tapi sesegera kami menapak aspal, leawati jalan imogiri
yang riuh kelimun kendaraan itu, aku agak terpana. Dengannya, dengan cakrawala
hijau pagi, yang meski berdesak dengan tumpukan ketakpastian yang tertanam.
Sekitar seperemapat jam, janur kuning sudah
terpampang, melambai setiap manusia yang melewatinya. Seolah berkata: “dua
pasangan telah tertambat, sepakat menghidupkan generator dibenak mereka sejak
awal hidup yang indah, biar terbaca selalu...”
Masuklah, kakiku sesegera menginjak panggung biru
disertai hiasan bunga yang terkarang, serta pakaian adat jawa yang begitu
pekat. Menyalami kedua mempelai dengan rasa penuh bahagia, begitu serasi dengan
rangkaian biru dipakainya.
Dari sana, ada saja sebuah cerita yang terbaca atau
yang hilang begitu saja, terlupa. Tapi aroma bahagia sudah tercium wangi
diantara riuh kelimun tamu undangan dan wajah-wajah keluarga, dan tentu kedua
pasangan yang akan menuuju bahtera, menapaki hidup yang berkeluarga, layaknya
kehidupan manusia biasa.
Barangkali, kini semua sudah menjadi tua, semua kawan
E2 yang menghadiri pernikahan ini juga akan melanjutkan kisahnya. Selepas beberapa
minggu lalu, kawan kami dari Temanggung juga melangsungkan akad-nya.
Aku hanya bisa mengikutimu dalam bahagia kawanku,
semoga kau dalam kasih-Nya, hidup berdua dalam mahligai cinta, selamanya,
hingga akhir waktu terkata.
Dan bagi kawan yang lain semoga cepat menyusul, aku
akan senang saat menghadiri dan melihat nyiur lambai janur kuning...
Ya barangkali aku juga perlu mengingat untuk segera
mencari larap yang akan mengisi hari, membangunkan aku dari hening malam, saat
subuh menapak berdua dalam doa. Tapi mungkin masih terlampau lama, karena
banyak wanita enggan dengan pria yang tak tahu cinta...hehehehee...
Komentar
Posting Komentar