Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2013

terlambat...

Di tepi bengawan yang membelah kota kali code, kau menyebutnya Yang barangkali sekarang aku lihat kembali dengan masygul juga di sebuah jalan Pramuka aku menapak akhir gejala pada rentetan kata tetinggal diantara relung sukma aku hendak menghela sebuah kekuatan tunggal, telah mengatur semuanya sehingga remuk redam cenderung merasa tak patut, untuk menganalisa kekurangan di tubuh sendiri, di masa lampau dengan ngeri atau takjub: juga sebuah mitos tentang yang pernah ada yang pernah terasa tak tersambut, lepas dalam ungu kabut tapi, kau tahu, tak pernah berubah, sama sekali! Atau sedikitnya suara gagau lambat laun begitu rutin, tak masuk akal pula, terutama bagi mereka akan bisa kembali untuk memikat menjanjikan suatu masa depan yang lebih baik. selama ini hanya nampak sebagai “Peristiwa” —sesuatu yang dahsyat, krusial, apokaliptik, sekaligus misterius. 'Mitos' memang mudah menjawab pelbagai pertanyaan dengan satu patah kata, dan sekaligus melupaka...
Aku tak tahu Apa gerangan sesuatu itu Menunda lelap kantukku, malam liku menjemu Seperti siang yang kaku, selalu, ketika aku tak kuasa menahan   Kata-kata dalam coretan terhina Mungkin waktu menghapus kita Pada ceritanya sekilas, yang tak pernah nyata, hanya dalam imajinasi — mimpi tiga dimensi Apa gerangan pernah terjadi? Apa saja pernah terucap? Barangkali sejenis kecelakaan, atau ketertundaan Apa yang tak pernah sampai, apa yang tak pernah tergapai Belum juga aku mengerti Apa itu? Apa yang mereka sebut cinta Sesegera saja, bertukar tangkap Lepas tiada parasnya tergapai Dan aku tahu, dalam ketiadaan, dalam ketaktahuan Biarkan sajalah Seperti aliran, sungai yang mengalir Menuju hilir Barangkali disana ada semacam cerita bahagia Apa yang akan kau temui pada muara Pantai dan sepoi Ombak-ombak bertabur lepas pasir putih Buih menyerta nyiur lambai — Seperti janur yang kuning Tahukah kau? Tahukah mana yang akan kau pilih? Barangkali kita akan mengerti kala ...

Apa itu Filsafat?

Membaca buku What is Philosophy? karya Gillez Deleuze dan Felix Guattari bagi saya begitu banyak menguras tenaga. Awal mula membacanya kita akan dikagetkan dengan bahasa yang bombastik—bagi yang tak biasa membaca buku-buku filsafat hanya terdiam seraya tersenyum simpul mengingat igauan Tony Blank… Lantas, Apa itu Filsafat? Filsafat—sebagaimana Deleuze dan Guattari katakan dalam What is Philosophy? —adalah "seni membentuk, menciptakan dan fabrikasi konsep-konsep." Konsep-konsep yang intensif—yang dalam karya mereka sebelumnya: A Thousand Plateau termasuk konsep seperti rimpang ( rhizome ) dan mesin perang ( the war machine )—yang terdiri atas "tataran imanensi" ( the plane of immanence ). Hah? Untuk menjelaskannya, kita harus menelaah: "Concepts are the archipelago or skeletal frame, a spinal column rather than a skull, whereas the plane is the breath that suffuses the separate parts...Concepts are concrete assemblages, like the configurations of ...
« aroma yang kita ciptakan tak lagi kita pahami, sementara pagar yang kita pernah bangun ambruk dan tak lagi berarti » Pada mulanya hidup ini hanya sejengkal nafas, yang tak diketahui. Kelahiran, mungkin kita lupa, bahwa ternyata dunia menempatkan kita pada sebuah jalan. Dengan tuah harapan, kita mengenali. Dan kitalah anak zaman, anak kemajuan, anak "modern".   Kita beranjak menjadi sesuatu yang menuju pada kecepatan. Tapi ada ironi yang terpendam, kita berasa "ada", makin menjadi, makin mutakhir, tapi tak berjiwa! Sebuah tragik ketika model pembangunan dan sistem berfikir yang dikembangkan dan diyakininya -hampir seperti agama—justru menafikan dimensi imaterial, dunia Psykhe , atau kultur yang selama ini membuat manusia tak kering. Kita hanya jadi saksi bisu dimana "maju" atau "sejahtera" selalu diukur pada "materi". Apa yang kita ketahui sebagai seni yang dulunya lahir dari kedalaman ruhani pun kini sekedar jadi arena jual-bel...

Tubuh = Komoditas!!!

Dalam tatanan sosial kontemporer sekarang ini, tidakkah kita melihat sebuah fenomena yang seringkali paradoks bahkan kontradiktif? adakah kita pernah bertanya-tanya atau setidaknya merasa asing darinya? atau kita merasa biasa-biasa saja dan bahkan hanyut dalam kendali 'realitas' tersebut? B anyak memang, masal a h yang membelit... tapi adalah kita pernah berfikir tentang "tubuh" yang kemudian hanya seperti semacam komoditas yang dijajakan, dipamerkan, seperti halnya barang-barang yang diperjual-belikan? sistem sosial yang hari ini semakin menghamba pada ekonomi kapitalis tak pelak lagi menggiring kesadaran kita untuk menjadi "sempurna". P endek kata, ada propaganda yang membius kita untuk mengikuti "mode" yang seharusnya, ada semacam kriteria 'objektif' yang dikondisikan para penguasa mode dan trend untuk mengondisikan dan menetapkan mana yang "keren" dan mana yang "kampungan". Dan tentu semua itu tak lain hanya...

Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya?

Awal minggu ini, tepatnya sehari sebelum tahun baru saya iseng-iseng mampir ke toko buku langganan saya di daerah jl. Solo. Pas tanggal tua, dan ada sedikit sisa uang yang lumayan untuk membeli buku. Awalnya sih gak niat beli, tapi setelah melihat-lihat saya jadi tertarik bukunya Karl Popper : Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya . Tak terlampau menghiraukan harganya, langsung saja saya tebus buku yang tebalnya 943 halaman itu. Agak kaget memang, harganya agak terasa ganjil. Dan selidik punya selidik saya cek harganya diinternet tenyata lebih murah. Penasaran, akhirnya saya cek lagi ke toko buku langganan saya itu tadi dan ternyata memang harganya dinaikkan. Hmmm…agaknya yang membuat agak geram adalah tak adanya pemberitahuan, tak demokratis, sepihak. Inilah yang juga menjadi focus kajian dalam buku Karl Popper, dimana tidak ada ruang terbuka yang membikin kesetaraan ( ȇgalite ). Dalam hal ini, toko buku tersebut telah bertindak “totaliter” terhadap para pelanggan yang sudah ...