Langsung ke konten utama

Postingan

Aufhebung

Perjalanan hidup memang tak selalu tak terperikan. Seolah waktu berjalan lurus tanpa horizon yang manapak pada kejadian. Pada setiap rentetan peristiwa yang teralami, semua berlalu begitu saja, melingkupi setiap gerak fenomena yang tak kita tahu mana arah bermuaranya. Hanya harapan dan impian yang barangkali membawa sejumput teka-teki itu sedikit memberi secercah daya, untuk berkata “Ya”. Terkadang sepi terlampau kerap menikam, pada malam-malam durjana, wajahnya menapak halus terpahat dalam ingatan hampa. Hidup yang begitu sederhana, tak ingin memuja apa-apa, kecuali yang-tak-berhingga. Peradaban yang terus berjalanan, seiring ruang yang kian hari dimampatkan oleh derap waktu. Menambah cerita tentang krisis persepsi, akan sebuah kebaruan, tentang otentisitas makna yang kabur bersama wacana-wacana. Cakrawala yang berfusi, melebur “tempuk-junjung” dalam sebuah momen aufhebung . Bisakah cinta mewujud pada pecahan-pecahannya yang semakin mustahil? Seperti dua sisi yang seharusny...
Berlari pergi tinggalkan jejak mimpi Dinihari saat gelap tak kunjung pergi Menunggu lagi cahaya pagi Yang mati, seperti dunia terus berlari Mengejar ilusi, mencumbu angin desau terjerat Mata-mata menderap kantuk terpatri Memberat tapi tak kunjung lelap Terkadang semua tiba-tiba Datang dan pergi, Berbalik arah tanpa titik balik Mungkinkah kembali? Sesuatu yang terlewatkan, Tertinggal pada hening, diam pedih peri Mata yang terbuka, hati yang tertutup  Dulu, waktu itu, aku tahu Tapi dunia sudah berubah, semua yang mencintai enggan berkata Menampik wajahku di setiap warna cahaya... Diarah mana bahagia bermuara? Bima sakti sisakan keruh suasana Bintang dan bulan redup sesalkan cuaca Begitu pula, engkau yang hilang mencari merdeka Dan aku adalah manusia Yang hina juga lupa Pada sunyi yang terhempas riuh kama Berlari aku ingin, kencang menebas udara Menggenang air mata, menikmati anyir luka Tuhan biarlah tertawa, Polah kita yang makin t...

sepenggalah mentari pagi

jalan ku terhenti sejenak lengang menyisir saat ku buka, hanya pesan diberanda yang lupa, meninggalkan semua cerita dipermukaan pagi sepenggalah mentari repetisi-repetisi, yang hadir, tanpa pernah terisi mungkin kicau burung, atau langit ungu selatan juga hamparan riuh gedung berjejal atau barangkali, pada rangkai-rangkai puisi? dan kau percaya, kau menampik ku segera sudah menghapus, menghapus segala rupa, satu hal-ihwal yang kita sebut cinta...
Terkadang aku mencintai malam, malam yang sederhana, saat kita tak (pernah) lagi bersua. disetiap waktu, kita bergerak, berhilir, menemukan apapun, yang baru, yang asing, mencintai sesuatu yang tak kita mengerti, menemukan kembali jejak-jejak langkah yang tersisa di dawat terakhir, pada kertas terakhir, juga pada ruang kuliah terakhir yang kita masuki. dari puisi-puisi yang pernah aku baca, dari wajah-wajah manusia yang pernah terjumpa, kalian semua tak akan musnah sepanjang hayat, sepanjang jalan, terkenang, disetiap cahaya pagi, saat subuh bergema, dan kesekian kalinya, juga pada seseorang yang akan mengingatkanku "shalat dulu...",   ...assalâmualaikum warahmatullâhi wabarakâtuh, selepas dua salam itu, akan ku doakan dirimu... dengan hikmat, semoga Tuhan memberi secercah rahmat agar kau selalu, bangun lebih dulu, setiap hari, setiap pagi... barangkali, "kita" memang tak akan kembali... dunia sudah semakin berbeda, kau sudah miliki jalan menu...

epigram

Kembali meniti keranda sunyi Malam-malam tanpa janji Deras hujan membasah, riuh-riuh pecah sepi Waktu yang pecah, terganti menjadi Menumbuhkan kecambah Pada Yang-akan-datang Pada hujan tengah malam Pada langit berhaluan hitam Dengan kompas ditangan Aku mengenalimu diruang rindu cahaya selatan dipangku sudut pagi Maksim terdalamnya, berkata apa adanya Cintanya tak kuasa, memekik dusta Angka dua belas tertunjuk Disini aku menanti pelangi dibalik ungu cakrawala Meleburkannya bersama bunga-bunga tuba Tapi hati sudah mati Tinggalkan hasrat, sesalkan damai jiwa balairungnya lengang Tak seorang pun disana, Ingin aku mengetuk, masuk Tapi kau sudah menampik hina Tubuhku hanya diam, menunda segala-gala Aku sudah dihapus enyah, lenyap-melenyap disuara terakhirnya Layakkah kematian? Kematian tanpa perkabungan Seperti aku yang bukan diriku Aku yang melampaui hujan Meningalkannya, menunggunya Hingga waktu tiba, semua sudah terlupa Dimana khayal, disana seribu mi...
selalu tak terisi angka waktu membekas menabiri sunyi seperi suara tak terdengar ilusi dan imaji yang tak bisa, yang selalu jadi petuah bukan aku, bukan wajahku hembus-hilir angin malam setia menembus kerakap terdalam pada kerak kuning yang berubah ungu janjiku untuknya, tak terbalas hanya kata, hanya bermain kata ku eja, dalam sunyiku terhina...

to your morning voice

I do not know what is going to write tonight. When I spell words, I feel sick; continue to sink into a meditative resignation does not explain anything. The lights are glowing along weary night, infiltrates dreams, the love that always hidden.   I felt y ou r voice— arrogantly eliminating me last morning . Can I enter an empty hall once again? Is it too late? I do not understand why all happened in a few seconds so quickly. The time playing with memories that has been moored. Consciousness is not also put the guts, let me alone , the situation is impossible to see you again. T he spark of your love is increasingly buried in silence soul. A moment may bring me back to it's original direction. Putting my heart sigh breath on your beautiful face . Framing every question in the purple crumb at the end of the semester. Like an old times, like the time when I still deny   everything, there was nevertheless love ... Early today, the night is reluctant to lea...