Langsung ke konten utama

Postingan

Far on the other side of revenge and peace, lies memory. Like an ocean. There you select the conch that you wish to pick out of the deep, past stroring sea, and the one you wish to toss away. Memory is never complete. The past is never one.there is the reminiscence that choose peace. There is the past that pushes you to scream: "We want revenge!" But, we don't know wether revenge was also washed away. For, on the far side of massacre or greetings of peace, lurks memory, which never stands alone

Sajak Bisu

senja melarutkan awan hitam tersisa jejak merah muda di barat cakrawala mempercepat kelam, menuju angan, ketiadaan juga diujung boulevard, setelah Malioboro jalanan riuh ramai, mempercepat gerak gegas orang-orang mobil bersaing motor, menderu cahaya lampu, merah-hijau sibuk dan dibawah atap gardu, aku menunggu menertawakan hidup, menertawakan diri, yang seringkali tak tentu, tak tahu, tapi itulah aku terasa tolol, tak mengerti damai dengan kesempatan... di boulevard, pandang terserak entah apa, entah arah mana, akan menuju aku... *** sejenak ingin tertawa pada hidup, absurd... menertawakan kebenaran, membuat kebenaran tertawa... *** Untuk menggapai apa yang luput, tak tercapai Untuk menampik apa yang ada, lupa terbawa Mungkin pada janur kuning Lengking bahana gending Riuh memekat, menapak batas Imajinasi adalah suara gagu Lepas aku, tertawa bisu...

Lagi...

menghabisi hidup yang terkarang menumpahkan kematian diantara pusara dendam ini imaji, ini mimpi, jelangkan yang azali pada dunia, atau Tuhan yang mati karena kita, karena sumpah serapah kita percaya, ada, tapi tak menjalaninya apa surga? apa neraka? kembali, mungkin kita kembali kala waktu tak berulang lagi, lagi, lagi yang pergi, tak kembali gemuruh, suara sayu, masygul dalam bisu atau pada deras hujan semua akan bertanya semua akan menerka bahwa, kita bukan lagi apa-apa...

sebuah aforisma untuk nyiur janur kuning (Simbok)

Tiga puluh menit sebelum pesta pernikahan kawan kuliahku (simbok) dimulai, jarum jam sudah Nampak menunjuk angka 10.30. ini pagi begitu meresap dengan suaka cita, dengan sejumput rasa asing yang menyita, begitu juga ego yang makin tak tentu arahnya. Semalam suntuk aku menelusup waktu, membincang hal-ihwal, selepas mengisi diskusi politik yang penuh kegeraman, pergulatan teori, juga menyambut rancang gagas yang kadang jadi semacam utopia. Mungkin baginya, simbok, momen ini amat special dan begitu menyita sejumput pembauran rasa. Aku tak tahu pasti, tapi yang jelas senyum ceria, bahagia, menyerta tiap-tiap waktunya. Apalagi, sudah sejak masa kuliah dulu simbok selalu gusar dan barangkali inginkan sesegera lulus agar cepat-cepat menuju pelaminan. Tentu saja, kami dating bersama-sama sepasukan ‘mantan’ kelas E2 yang sudah banyak yang terfragmentasi—sibuk dengan kesehariannya masing-masing, untuk menuju cita yang ditajanya. Ada sedikit ego yang mengeram dihatiku, entah apa. Tapi sese...

Tuhan, yang tak [kunjung] selesai

Malam ini kembali, aku mendapat bombardir pertanyaan yang berkait Tuhan. Melepaskan sudut pandang yang sebenarnya aku sendiri juga sedang dalam waham. Seorang kawan, makin jauh menelisik, menyusuri lembah yang ingin dicapai tapi tak jua tergapai. Setelah membaca buku-buku filsafat yang pernah aku rekomendasikan, ia semakin skeptis, semakin galau, gelisah dengan kehidupannya yang dulunya tenang dan biasa saja. “Ya! Inilah hidup kawan! Ketika kau tenang-tenang saja kau sudah jadi mayat hidup tanpa kau sadari, kalo bahasa Marx: alienasi…” begitulah aku menimpali segala keluh kesahnya… Memang kita terkadang hidup serasa tanpa beban, tanpa masalah. Padahal dunia ini—utamanya sejarah—selalu mengandung problem, kontradiksi, dan berbagai hal yang selalu menyisakan celah. Bisa jadi dengan bersikap tak tahu menahu, apatis, acuh tak acuh, itu sama saja dengan membodohi dan membohongi diri. Manusia memang tak bisa lari dari realitas, mungkin sekejap ia lari, tapi pelarian itu hanya ...

Entah, aku tak tahu

Akhir-akhir ini dunia hidupku semakin tak menentu arah. Hilang segala sunyi, yang-hening. Aku tak tahu, kenapa semua semakin menghambur lepas, meniadakan wujud keaslian. Spiritualitas ku perlahan meluntur, lenyap, seolah merasa jumawa dalam keramaian diri. Sholat, sebuah ritual yang seringkali dan setiap kali, setiap waktu aku jalani kini semakin tertinggal. Enggan, begitu kata yang mungkin tepat melukiskannya. Tuhan ? tampak teramat jauh bagiku, mungkin orang berkata Dia-lah yang Maha, Ruh-semesta, yang tak diciptakan, tak pula diperanakkan, demikian seringkali aku dengar beberapa konsep absurd yang tampak mengerikan. Mengerikan, karena aku ditakut-takuti api, siksa, pedih, neraka jahanam yang siap melahap. Juga diimingi sorga, sebuah imajinasi tentang utopia, dimana seluruh bahagia tertera. Namun, tampaknya memang bukan karena aku tak percaya, atau mengingkari bahwa aku hanya makhluk yang tercipta. Iman yang berdasarkan ‘kepercayaan’ itu bukan berarti harus dengan me...

Eksotopi senja

Langit berderai melepaskan cahaya kuning kemerahan selepas hujan, gemuruh guntur memagut aku, senja ungu, dibahumu berkawan mega, menabiri tiap warna lepas matahari terbawa dan suara, gema Maghrib mengiring angin, menembus monolog pohon seraya kita, memajalkan pelangi yang seolah tiba, diantara ritme langit sebuah pesawat terbang melintas ujung cakrawala bermuara, lenyap sepikan peristiwa ukiran mendung, seperti seberkas abu mengendap, sisakan sebentuk cercah biru cahaya teja, seperti cinta seperti rindu, memberat, diujung gelap,  tersipu, menyapu ungu...