Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2013

Slametan

Lama tak pulang ke kampung rasanya agak terasing. Terlebih sekian waktu tak bergumul dengan warga sekitar, seolah menjadi seorang outsider . Ya, mungkin itu sejumput persepsiku saja, toh warga kampung masih menyapa jika bersua di jalan, meskipun terkadang dengan agak canggung.   Melepas penat sesaat, tinggalkan ingar-bingar kota Jogja yang mulai menapak metropolitan, agaknya seperti merasakan sejumput hawa kebaruan. Serasa di surga memang, tak terlalu risau layaknya anak kos yang seringkali bingung untuk keluar makan apa. Juga sedikit bernostalgia, mengingat jejak-jejak masa lalu yang masih tertera. Ternyata memang masih banyak yang harus dikerjakan di daerah tempat aku dibesarkan, tanah wiladah. Tapi barangkali bukan satu atau tiga tahun ke depan, karena masih banyak cita yang harus aku rajut di Jogja. Dan suatu saat nanti aku pasti kembali, mengejawantah sejumput teori sosial dan pengetahuan yang pernah aku pelajari. Banyak tawaran yang sudah ku tolak, terutama desak...

Kekosongan

Hidup bukanlah sekedar mengejar hasrat dunia, dimana kesadaran kita selalu menyambut apa yang ada dalam realitas, apa yang ada di luar diri kita. Untuk merengkuh segala tahta, harta, atau kekayaan material. Marx pernah berkata: “realitas menentukan kesadaran”, tak sepenuhnya salah memang, tapi menyederhanakan hidup pada tataran material saja amatlah naïf, karena manusia itu paradoks—ia bertubuh ( soma ) tapi juga punya dimensi spiritual ( psyche ) yang terkadang tak terperikan. Sokrates, sang bijak dari Yunani itu, pernah berteguk wejang “kenalilah dirimu sendiri”— Gnothi Se Authon . Sebuah frasa yang teramat sulit, tak mudah di genggam dalam laku. Sejak manusia hidup enam juta tahun silam, hingga manusia modern ( homo sapiens ) pertama muncul setidaknya 200.000 tahun silam, hingga kini zaman gadget dan warta 140 karakter, frasa itu masih jadi misteri. Siapa aku? Memang lebih mudah mengenali rasi bintang yang jauhnya milyaran kilometer dari diri kita, ketimbang mengenali ap...

Pulang, sebuah catatan perjalanan

Rasanya ada yang aneh malam ini, tapi entah apa itu. Rencananya malam ini juga aku akan pulang kampung ke Batang, Jawa Tengah. Ada sejumput rencana yang terbawa, setidaknya harapan dan kegelisahan, terutama selepas perjumpaan sore itu di kedai kopi Blandongan dengan seseorang yang punya pengalaman menangani daerah-daerah. Beliau bicara panjang lebar ihwal kondisi tataran sosial masyarakat dan pemerintahan, maklum beliau sekarang bekerja di sebuah institusi pemerintahan pusat yang menangani daerah-daerah tertinggal. Dari pertemuan singkat dan sejumput diskusi warung kopi sore itu, aku mulai berfikir, bahwa gagasan-gagasan dan teori sosial mutakhir yang aku pelajari itu tak akan menjadi apa-apa tanpa ejawantah dalam praksis—terutama untuk menangani masalah sosial yang bergayut di daerah. Dan barangkali pada pundak intelektual yang masih memegang nilai-nilai kemanusiaan, moral, dan keberpihakan pada rakyat—semua itu akan terrengkuh. Sejumput cita dan asa itulah yang menghantarkan kami ...

Eudaemonia

Pagi kembali terlihat eksotik. Ya, setelah beberapa waktu ini mandung bergayut menabiri jingga langit. Langit yang tampak indah dengan bulir-bulir lembut ultraviolet mentari pagi ini jadi semacam penanda. Penanda bahwa hidup adalah sebuah gerak dinamis, dari ada kemudian menjadi. Dan apa yang ada, apa yang berkelebat dan terselip dalam tiap fragmen kejadian tak tepermanai yang kita alami adalah mukjizat. Semua ini sederhana saja: kita hidup, kita merasakan, kita memaknai, kita mencintai, atau sebaliknya. Dari sana akan tertera jalan pada sisi kehidupan yang hakiki. Dalam percik nafas kehidupan, tak ada manusia ingin menderita. Semua manusia agaknya—dan niscaya—ingini bahagia. Tapi apa itu bahagia, tentu saja, sangat subyektif sekali, atau mungkin tak ukuran obyektif yang bisa menjangkau kebahagiaan. Tiap-tiap falsafah kehidupan punya ukurannya masing-masing. Kebahagiaan ( eudaemonia ) agaknya menjadi hal yang tak punya referen, ia tak punya titik pijak yang jelas akan ukuran m...

Seni, peristiwa, dan seloroh orang “gila”

Pada mulanya secangkir kopi, lalu hal-hal perkara seni, dan setelahnya dimulailah perbincangan ngalor-ngidul yang entah dimana muaranya. Dari obrolan itulah tercipta dialektika tanpa sintesa—selalu saja ada anti-thesa yang terus bertempuk junjung. Juga beberapa kesimpulan tak selesai ihwal gerakan mahasiswa hingga problem-problem kehidupan yang selamanya menyisakan tanda tanya, entah itu cinta, sampai kemiskinan dan realitas ekonomi politik yang kian bobrok perihal etika. Dan tiga orang “gila” yang seringkali disemati aktivis itu masih saja galau dan gelisah dengan hiruk-pikuk realitas sosial yang kian mengalami krisis multidimensi. Ketiganya: Filsuf galau, calon pengusaha, dan sang pemimpin besar empunya UIN Jogja. Timbul dari ketiganya semacam skema dalam enigma. Skema karena ia coba merengkuh perencanaan strategis perubahan dengan sistematika ‘konspirasi’, enigma karena ada problem besar yang bergelanyut: Krisis yang memang tak mudah diretas, dianalisa dengan teori-teori kon...

Secangkir kopi kenangan

“Everything fades,” say the heart-shaped ex-votos, “except memory.” –Albert Camus “Keheningan” itu datang kembali, pada tiap rentetan peristiwa yang teralami dalam diri. Peristiwa memang menjadi sebuah pengalaman akan yang tak terhingga (infinite), tapi peristiwa itu juga tercerap dalam tataran yang berhingga (finite). Barangkali di sana kita juga menemukan hal-hal yang selamanya tak mudah terpresentasikan secara sempurna, apa yang kemudian kita taja sebagai pengalaman. Dalam malam yang sayu, seraya pantulan cahaya bulan, berpendar redup menggelanyuti tiap sudut kota Jogja. Tapi sebagaimana sebuah kota, ia punya sebuah latar yang selalu tak bisa di kalahkan oleh redup cahaya bulan. Apalagi “keheningan”, semakin jadi hal yang tak mudah di raih di sana. *** Setelah empat tahunan aku belajar di kota ini, masih saja ada hal yang tak kunjung membuat bosan. Ada saja sesuatu yang tertanam dalam tubir ingatan untuk tetap meyandarkan sejumput impian dan harapan. Dan akhinya, ...