Langsung ke konten utama

Postingan

Only love can break your heart

Only love can break your heart I Terkadang hidup ini seperti permainan catur tanpa alas, tanpa dasar. Kita bermain dengan segala riuh-rendah yang ditawarkannya dengan segala rupa. Mungkin kita lupa mana arah bermuara, ketika pelupuk mata tertahan oleh segala kegagahan dan pernik kemewahan yang ditawarkannya.  Dan seperti lazimnya permainan: ada yang menang, juga yang jadi pecundang. Tapi diantaranya ada sebuah ranah yang mempertautkannya. Sebuah ruang di mana antagonisme tak lagi ada. Ranah yang terkadang luput tak tergapai, terlupa pada kepalsuan—banalitas hasrat yang selalu tak pernah terpuaskan. Sunyi, barangkali, kian jadi suri, makin tak bisa di temui. Seperti juga cinta yang seringkali hanya jadi permainan hasrat kuasa, permainan perburuan bagi manusia yang menyandang tahta. Mereka yang tak punya apa-apa, siap saja jadi pecundang. Hanya sekedar meratapi anugerah cinta yang ditelusupkan oleh Tuhan, atau mungkin frustrasi atas penampikan yang menyeringai di tiap jeng...

Agama, kekerasan, dan cinta

“Keselamatan ada pada cinta, terlindung dalam hati yang bening, keheningan hati yang seakan kosong, tapi sebenarnya penuh berisi hasrat akan Kebenaran…” –R. Ng. Ranggawarsita Agama, tidak dapat dipungkiri, telah memainkan perannya yang begitu rupa dalam membentuk peradaban manusia. Telah banyak narasi yang menceritakan keberhasilannya mendamaikan dan meluruhkan begisnya nafsu dan libido kebinatangan manusia. Tapi juga alangkah banyak yang menceritakan wajah seringai dan buas agama terhadap kecenderungan pada yang beda. Wajah agama yang berparas mendua inilah agaknya yang menjadikannya selalu diharapkan sekaligus di kecam. Dalam setiap agama, kita tahu, selalu mengajarkan kedamaian, perdamaian, saling menghargai yang beda, bahkan dalam beberapa keyakinan teologis, menyakiti dan menghina makluk lain ( liyan ) berarti juga menyakiti dan menghina Tuhan. Tuhan seolah mengingkarnasi dalam makhluk-Nya—sejurus sang pemeluk agama itu meyakini bahwa relasi etis terhadap sesama makhluk...

LOVE, cinta???

Cinta selalu jadi hal yang tak selesai di dunia ini. Setiap manusia tentu saja pernah merasakan hangat dan sublimnya, bahkan sakit dan penderitaannya. Bayangkan jika hidup ini tanpa cinta, mungkin dunia ini telah habis, luluh lantak seraya terbantun dalam gelap gulita. Temaram cahaya tak lagi terciprat dalam alunan damai rasa kemanusiaan. Ketenangan jiwa lenyap memudar, tersisa banalitas, kejahatan, kengerian, kebencian. Agaknya, sejarah hidup manusia pun berawal dari cinta, setidaknya itu yang terbaca dalam kisah Adam-Hawa. Tapi apakah cinta itu ada? Benarkah ia menjadi hal yang membuat hidup jadi bermakna? Atau malah cinta itu palsu? Ia sekedar libido dan hasrat semata? Tentu saja, kita pasti pernah mengalaminya dalam dunia keseharian, dalam pengalaman unik dan singular, sehingga persepsi setiap orang akan berbeda-beda dalam menafsir cinta. Apa jadinya jika cinta di pandang oleh kacamata seorang filsuf? Alain Badiou, sang filsuf radikal-kiri Perancis, memasuki dunia antah-...

Slametan

Lama tak pulang ke kampung rasanya agak terasing. Terlebih sekian waktu tak bergumul dengan warga sekitar, seolah menjadi seorang outsider . Ya, mungkin itu sejumput persepsiku saja, toh warga kampung masih menyapa jika bersua di jalan, meskipun terkadang dengan agak canggung.   Melepas penat sesaat, tinggalkan ingar-bingar kota Jogja yang mulai menapak metropolitan, agaknya seperti merasakan sejumput hawa kebaruan. Serasa di surga memang, tak terlalu risau layaknya anak kos yang seringkali bingung untuk keluar makan apa. Juga sedikit bernostalgia, mengingat jejak-jejak masa lalu yang masih tertera. Ternyata memang masih banyak yang harus dikerjakan di daerah tempat aku dibesarkan, tanah wiladah. Tapi barangkali bukan satu atau tiga tahun ke depan, karena masih banyak cita yang harus aku rajut di Jogja. Dan suatu saat nanti aku pasti kembali, mengejawantah sejumput teori sosial dan pengetahuan yang pernah aku pelajari. Banyak tawaran yang sudah ku tolak, terutama desak...

Kekosongan

Hidup bukanlah sekedar mengejar hasrat dunia, dimana kesadaran kita selalu menyambut apa yang ada dalam realitas, apa yang ada di luar diri kita. Untuk merengkuh segala tahta, harta, atau kekayaan material. Marx pernah berkata: “realitas menentukan kesadaran”, tak sepenuhnya salah memang, tapi menyederhanakan hidup pada tataran material saja amatlah naïf, karena manusia itu paradoks—ia bertubuh ( soma ) tapi juga punya dimensi spiritual ( psyche ) yang terkadang tak terperikan. Sokrates, sang bijak dari Yunani itu, pernah berteguk wejang “kenalilah dirimu sendiri”— Gnothi Se Authon . Sebuah frasa yang teramat sulit, tak mudah di genggam dalam laku. Sejak manusia hidup enam juta tahun silam, hingga manusia modern ( homo sapiens ) pertama muncul setidaknya 200.000 tahun silam, hingga kini zaman gadget dan warta 140 karakter, frasa itu masih jadi misteri. Siapa aku? Memang lebih mudah mengenali rasi bintang yang jauhnya milyaran kilometer dari diri kita, ketimbang mengenali ap...

Pulang, sebuah catatan perjalanan

Rasanya ada yang aneh malam ini, tapi entah apa itu. Rencananya malam ini juga aku akan pulang kampung ke Batang, Jawa Tengah. Ada sejumput rencana yang terbawa, setidaknya harapan dan kegelisahan, terutama selepas perjumpaan sore itu di kedai kopi Blandongan dengan seseorang yang punya pengalaman menangani daerah-daerah. Beliau bicara panjang lebar ihwal kondisi tataran sosial masyarakat dan pemerintahan, maklum beliau sekarang bekerja di sebuah institusi pemerintahan pusat yang menangani daerah-daerah tertinggal. Dari pertemuan singkat dan sejumput diskusi warung kopi sore itu, aku mulai berfikir, bahwa gagasan-gagasan dan teori sosial mutakhir yang aku pelajari itu tak akan menjadi apa-apa tanpa ejawantah dalam praksis—terutama untuk menangani masalah sosial yang bergayut di daerah. Dan barangkali pada pundak intelektual yang masih memegang nilai-nilai kemanusiaan, moral, dan keberpihakan pada rakyat—semua itu akan terrengkuh. Sejumput cita dan asa itulah yang menghantarkan kami ...

Eudaemonia

Pagi kembali terlihat eksotik. Ya, setelah beberapa waktu ini mandung bergayut menabiri jingga langit. Langit yang tampak indah dengan bulir-bulir lembut ultraviolet mentari pagi ini jadi semacam penanda. Penanda bahwa hidup adalah sebuah gerak dinamis, dari ada kemudian menjadi. Dan apa yang ada, apa yang berkelebat dan terselip dalam tiap fragmen kejadian tak tepermanai yang kita alami adalah mukjizat. Semua ini sederhana saja: kita hidup, kita merasakan, kita memaknai, kita mencintai, atau sebaliknya. Dari sana akan tertera jalan pada sisi kehidupan yang hakiki. Dalam percik nafas kehidupan, tak ada manusia ingin menderita. Semua manusia agaknya—dan niscaya—ingini bahagia. Tapi apa itu bahagia, tentu saja, sangat subyektif sekali, atau mungkin tak ukuran obyektif yang bisa menjangkau kebahagiaan. Tiap-tiap falsafah kehidupan punya ukurannya masing-masing. Kebahagiaan ( eudaemonia ) agaknya menjadi hal yang tak punya referen, ia tak punya titik pijak yang jelas akan ukuran m...