Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2012

Convoitise

Terkadang aku tiada mengerti Kehidupan ini, riuh terpahat sunyi Disetiap jalan kota ini aku susuri Etalase, terus membuai, mencerminkan mimpi Cermin yang bukan 'aku' Terus ia merayu, merepetisi selera seragam Demi khayal manusia sempurna

Adieu

I Selalu ada yang pergi, jauh tinggalkan diri Menyisakan jejak ingatan terdalam, Mengiring lepas peristiwa pernah tercandra Disebuah pematang, kita beriringan bersama Lewati tajam selekoh, lubang-lubang, tanjakan menerjal Kita lewati semua, nyaris tanpa sadar kita sudah disini, menaja hari...

Differ[a]nce

Wanita yang indah adalah wanita yang bersih dalam diri, bersih perkataan dan bersih perilaku, sedangkan laki-laki yang indah adalah laki-laki yang berahklak. Ketika kedua insan itu disatukan maka mereka adalah pasangan yang ditetapkan disorga. Berlari dari tumpuan hilir yang membawaku jauh dari akal yang telah membodohi harapan, dogmatis bisu menjejali kerasnya nurani yang kian tertutup pemimpi kecil yang bermimpi jauh lebih besar dari dirinya, berdiri di antara bayangan dan menyamakan tinggi perwujudan aslinya, menatap pemahaman ilusi yang keras menginjakan kaki keputusasaan, aku bergeming mencaci kama birahi. Berbisik kata kesetiaan di tengah hamparan firaun dan menyiramiku dengan air keajaiban sisa Musa. Tertenun lembut sutra yang telah lama aku simpan dalam peti kematian akan harapan, menyemayamkan tirani kotor dalam lubang tak bernisan, taburkan wewangian bunga sebagai penanda matinya penantian yang sekian lama aku bangun untuk seorang maharani, pembenci yang merasakan satu p...

Pulang (sebuah catatan pendek tentang cinta, agama, dan mahasiswa)

--> Pagi ini aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri ku. Entah apa, namun seolah sesuatu itu sangat berharga dan mungkin begitu tiada ternilai secara material. Mungkin karena ada seseorang ku cintai yang bahkan tak pernah ku mengerti wajahnya selalu hadir dalam malam-malam sepi ku. Selepas tidurku semalam, aku bermimpi yang seperti bukan sebuah mimpi. Aku menjumpai paras ayu-nya disebuah benderung hening dan ia tiba-tiba pergi berucap “selamat tinggal— Adieu, ” meninggalkan wajah ku dalam pekat kesendirian. Memang aku tak pernah paham soal mendekati wanita dan bagaimana meluluhkan hatinya yang kadang temperamen dan meminta perhatian yang berlebih. Mungkin karena itu pula, meninggalkan wajah ku adalah hal yang lumrah, menolak diri ku adalah sebuah kewajaran. Meski dalam ketakjelasan dan tak diakuinya sebuah ketulusan hati itu aku banyak belajar tentang hidup, tentang kepasifan membijak, tentang makna syukur kepada Sang Causa Prima....

Selamat Ramadhan

--> “…Karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung pada keberadaanya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…” Richard Rorty Hari ini ada sesuatu yang terasa agak berbeda dengan hari-hari yang lalu. Mungkin karena esok hari puasa ramadhan akan dimulai, meski ada gelagat bahwa penentuan awal bulan ramadhan itu diwarnai dengan sedikit perdebatan. Dan itu sudah menjadi warisan lama yang menubuh menjadi ideology untuk saling berkontestasi dan berebut pengaruh tentang mana kelompok yang paling sahih di belantara nusantara ini. Antara hisab dan rukyat yang memang jadi perdebatan perennial tiada ujung, yang mungkin akhir-akhir ini dibubuhi dengan politisasi keyakinan agama serta rong-rongan yang menyatakan salah satu kelompok islam itu sudah jadul dalam metode hisabnya. Yang tentu bagi kaum awam seperti saya hanya bisa memilih yang sesuai saja. Ada...

“Aku”

Kala pagi menghamparkan pijar mentari, menyuluh sepi hati yang tertikam oleh makna keriuhan pekat manusia yang saling mengalahkan satu sama lainnya. Disebuah sudut  kota, kelimunan manusia semakin menjalar seiring mentari yang mulai menanjakkan kakinya di ufuk lazuardi. Aktivitas dan mobilisasi kemudian semakin menyeruak hingga berjejal arusnya dari berbagai sudut, sehingga arah pun tak terlau dihirau. Berjejal layaknya komoditas yang tak memiliki rasa untuk berbagi, bahkan sebuah cinta dimaknai sekedar sebagai pemuas hasrat untuk menjadi suci dengan gelimang uang kelebihan. Dihamburkanlah semua demi kesenangan sesaat dan hura-hura penuh dekadensi moralitas. Demikianlah riuh kehidupan kota yang penuh pekat hedonistik tanpa makna dan hampa dalam ihwalnya. Namun sebuah paradox terpampang sempurna, dijalan-jalan protokol begitu berjejal manusia yang menguras keringat untuk sekedar berebut sebungkus nasi: tukang becak, penjual Koran, penjual asongan, pengamen, hingga pengemis-peng...

Menapak batas Ibukota

## Kini waktu berdetak terlambat. Menghasrat sepi saat hitam memekat. Jauh horizon kedamaian menunjuk celah Hanya buku terserak Hanya teks terbaca Membawa resah ku menuju pendapa Ilahi Saat mimpi sebatas eksis dalam dirinya Tanpa ejawantah di dunia tempat menaja wajah-nya kian kabur dibalik cakrawala Aku merasa-nya, aku menunggu-nya.. Meski dihantam luka, meski diterkam petaka Tapi Jakarta telah menunggu Memacu nalar, bergerak mencari Kebenaran Aku pergi... Bersama pagi, menanti subuh, menambal peluh jiwa yang karam oleh angkuh wajahnya...

arung

Berjalan beriring kelimun kahat pepohonan Mengarung bukit menyerta langkah serangkai sahabat Memukau senyum sejenak melupa penat bising kota Meski sang surya menyembur panas Kita hadapkan wajah menuju cakrawala Disana tempias lamat samudera menghadang mata Menghampar deru biru hingga kemilaunya Indah nian kiranya aku terpekur atas kuasa-Nya Diatasnya sejumput benderung mengemuka Ku resapi karsa meski fatamorgana menahan asa Riuh memukau tawa saat tiba dibibir pantainya Jungwok yang mendebur begawan ombaknya Membuih putih seketika menabrak karang Serpih pasir putihnya memukau silau tiada kira airnya surut saat bermandikan cahaya Angin semilir menepis liris luka terbawa waktu yang membawa cerita wajahnya menyublim dihamparan samudera ku nikmati desir air meraut sepi, hingga gelisah ku menebar disela hati........ (Jungwook, 13.33/ 8 Juli 2012) — di Pantai jungwo-wedi ombo-indriyanti

Hegemoni kama (sebuah pesan ketakhadiran 'ada')

Aku tak butuh diakui Cukuplah kau mengerti saja Perihal rasa mewaham tanpa terduga Setiap titik akan selalu berbeda Tiada yang sama pada hakikatnya Benarkah cinta harus selalu terkekang dusta? Semut merah bergumul mencari gula Bagai manusia yang terus mengurai fenomena Menunggu-nya sampai waktu mewedarkan makna Jika aku ingini, bisa saja aku memalingkan rupa Telah banyak bunga di altar pemandian sana Tapi bukan itu yang aku taja Karena sebuah rasa bukanlah permainan kama Ku nikmati sepinya saja hingga menelentang bianglala Hanya wajahnya, hanya senyumnya menggema Meski lalau menutup sukma untuk mengharapnya Jika jalan cerita menjadi berbeda Tahniah ku lafalkan, agar kau selalu dalam bahagia... ## merapat cahaya kala subuh menggema tubuhnya luka disayat cinta hatinya melepuh diterpa dusta menertawa Tuhan, memuja logika Tuhan bukan pikiran Tuhan tak bisa kau lukiskan hanya iman oleh di...