Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2012

mengakhiri sisa malam (sebuah montase dalam kemarau yang rindu rintik hujan)

mengakhiri sisa malam yang hening, hanya detak waktu yang lempang — memecah sunyi... dalam pikiran yang serba inginkan apa yang seharusnya "ada", yang mengakar menangisi utopianya, tak kuasa hadapi apa yang "ada"... kebenaran, selalu saja luput dalam genggaman, disetiap zaman, terus tumpahkan darah--korban keangkuhan sang pemegang otoritas tafsir... seperti cinta yang tenggelam pada kering bengawan, ia hilang terserap panas matahari saat kemarau panjang...

Kembali ke Jogja (sebuah catatan tentang absurditas hidup dan cinta)

“Merasakan ikatan ke suatu tempat, rasa cinta ke sekelompok orang, mengetahui bahwa senantiasa ada setitik tempat dimana hati kita akan damai—itu semua adalah kepastian yang banyak buat hidup manusia yang sekali saja…” –Albert Camus Hari raya Idul fitri adalah momen dimana semua orang berkumpul dan saling bertemu kembali setelah beberapa lama terpisah oleh jarak yang pejal, demi mencari penghidupan di kota-kota besar. Bertemu dengan sanak-keluarga di kampung tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi setiap orang. Setidaknya alasan itulah yang mendasari tradisi mudik ke kampung halaman, tentu tak hanya bagi kaum muslim, tapi juga mereka yang non-muslim pun juga ikut mencicipi libur hari raya, lebaran. Ihwal tentang silaturahmi dan berkumpul itu pula yang membawa tubuh saya pulang ke rumah—tanah wiladah—dimana saya lahir dan mengisi masa kecil. “Berhari raya itu gampang. Tapi beridul fitri susah bukan main!”

sebuah senja di Pagilaran

Hampar hijau melepas Riuh memekat bersembunyi Aku masuki ruang yang sunyi Diam mencicipi sendiri Kicau burung mengikuti nada hening Hembus hilir angin menyentuh sukma Hingga wajahnya aku rasa tiada Dicakrawala, dedaun teh menjelma setia Menahan amarah, menelanjangi naluri

Fitri

--> (i) Senjakala ramadhan suci telah semaikan janji yang merevolusikan sifat thagut telah menuju titik kulminasi terjejak segala nilai ibadah,  teresap dalam diri Mengalirlah alirannya bening—hilangi noda kama, desau angin mencerap halimun egolatri segala bait dendam berpendar dalam kuasi ideologi terlumatkan dalam aksentuasi cinta melampirkan cerita

Surat untuk sahabat (E 2)

--> Pada mulanya cerita ini tertulis pada ketaksengajaan, mungkin ketaktahuan. pada kertas yang buram tanpa coretan.kemudian kita coretkan pena diatasnya, disana, dikampus itu kita jalani cerita. Episode kehidupan yang kita lewati, kini, menyisa jejak penanda dalam lorong sunyi. Hanya fragmen kecil yang masih terngiang sebagai ingatan lalu, dalam waktu. Kita pernah bersama menuai rekam dalam dunia-hidup yang centang-parenang. Merah-hitam,tawa-lara, cinta-luka, menorehkan makna hingga jasad ku terpisah oleh pejal waktu. Cerita tak selalu berjalan lempang, menghujam imaji saat lalu terlewati, merih memerah kala aku tak kuasa bicara tentang "kita."

Mata

Kehidupan selalu menjejak rentetan peristiwa. Dari momen waktu lampau yang kemudian kita rangkai kembali jejak -jejak itu dalam memori. Ada sesuatu yang tergapai pula yang lenyap menghilang jauh tak kita temukan lagi jejak penandanya. Semua yang terjumpa, tiap wajah yang membawa kita saling sapa, saling mengenal satu sama lainnya sebagai Dasein— manusia yang berada-dalam-dunia. Setiap perjumpaan yang mengesankan, dengan orang asing atau orang yang kita kenal, bermula dari tatapan. Semula kita melihat wajahnya, ia begitu berbeda dan unik dibanding yang lain. Kemudian kita menatap matanya, dan dari situ kesan demi kesan mulai tumbuh dalam hati . Setiap mata yang kita tatap meninggalkan gaung dalam diri, yang mungkin baru terdengar setelah kita berpisah darinya. Mata itu seperti bersuara. Ia seperti berbisik dari kedalaman dirinya dan bercerita segalanya. Dari mata, muncul dialog-jiwa. Aku dan dia saling menyapa dalam tatapan . Hegel, filsuf agung Jerman itu, benar ketika mengatakan ...

Enam-Tujuh!

--> “Kemerdekaan rakyat Indonesia baru tercapai bila kemerdekaan politik 100% berada di tangan rakyat Indonesia…” —Tan Malaka Tujuhbelas dibulan delapan merupakan momen sakral bagi bangsa Indonesia. Enam puluh tujuh tahun yang lalu sebuah kertas dengan beberapa rangkai kalimat padat yang diberi judul “proklamasi” itu dikumandangkan. Alangkah hati berbinar disertai air mata bahagia, semua rasa membuncah berbaur padu hingga pekik lantang: MERDEKA! Berhamburan diseluruh antero nusantara. Dari hari bersejarah itu, negeri ini telah melewati terpaan badai ideologi hingga kelimun Guntur despotisme yang menggelegar. Cobaan demi cobaan, peristiwa demi peristiwa; dari orde lama, orde baru, hingga orde reformasi yang ingar-bingar akan kebebasan suara. Negeri yang subur penuh kekayaan alam melimpah, berhias zamrud bertempias emas, bahkan tongkat-kayu-batu-pun jadi tanaman—dengan kata lain negeri ini adalah penggalan sorga. Seolah melihat kekayaan negeri ini yang terlampa...

Buku (sebuah catatan dini hari)

Malam itu, hening diiringi balutan gelap menghitam. Bintang gemintang bertaburan—berjejer padu membentuk gugus-gugus. Tak terlihat rembulan, seolah ia tersipu malu oleh ribuan bintang yang berpendar redup-redup mengeluarkan lendir kelemayar. Aku duduk terbantun merindu kehadiran cahaya bulan—demikian aku selalu bersamadi dan takzim kala cahaya bulan menyuluh hatiku yang penuh bercak luka. Dalam sublim emanasi cahaya itu aku terpekur oleh sesuatu Yang-kekal, sesuatu yang keberadaannya entah dimana, tak dapat dilabeli apapun yang berbau manusia—transendental—yang hanya aku rasakan keteduhan sunyinya dalam liturgi sujud.

bring me the horizon

(I) Matahari melepas turun kaki langit, menunjuk waktu senjakala termangu... diatas sunyi langit berarak mendung, guntur-guntur menyapu cerah suasana, tak terlihat indahnya... tapi hujan tak kunjung basahi tanahku lama kering kerontang, seperti hatiku padam hitam... maka risaulah seekor elang yang patah sebelah sayapnya, termenung ia sendiri ditepi kali... tiba-tiba air mata menelusup, ia menangis terisak--sedu sedan entah karena apa...

Baret merah

Gemuruh wacana menyibak tirai hitam Dalam gelap malam, menaja puluhan buku Memacu keliaran nalar, hingga tengat waktunya Kala ku buka tiap pagina, huruf-huruf menerakan fenomena tersisa bercak nikotin diatas kertas, menguning... Teruskan gelisahmu kawan! Hingga esok menceritakan utopia...

Kartasura

Gerak mediasi menghampa malam sunyi Terasulnya terlupa dicekal keras hati Sore tadi, api membuncah meninggi di hiruk-pikuk jalan, memantul raung sirine Berkelebat hasratkan padam sesegera Berlarian tiada karuan, tak memeduli halang-rintang Akupun mengikuti ingatan lalu, tentang wajahnya, menguliti sunyi...

deja vu

(I) Aku ingin melihatmu disini Kala malam memahat sepi Aku ingin mendengarmu bernyanyi ketika aku tak mampu menulis lagi Hangat aku nikmati not penuh mimpi Mengalun nada hening pada memori Berdenting lepas, menerakan maras Mainkan lagi refleksi pianonya mengimaji Redakan lukaku atas angkuhnya terjejaki

Ekstase (momen asketis)

Seseorang akan bebas dari panas api Kala dingin hatinya semesra embun pagi Diterik mentari, aku bersembunyi disurau kami, mengasingkan diri dari keramaian, kebisingan yang menikam Sepi yang sunyi, lupakan angkuh terlewatkan Dalam ruang, kefanaan, semuanya terhubung Dari satu tetap, bersenyawa makna perubahan Ruh semesta menggigir jasad kasat mata

music of being

The sky veiled A moon shy, sublimed to the horizon The morning has come A glittere d haze drops in palm leaves I saw yo u upon the roof, before the night, a solitary night... You tell me everything, that was a beautiful rejection I know, I'm not the one... The guitar passed away, it ’ s sound discordant But today, I find a new way The path, maybe, to leave your way

Annisa [1]

Terjaga mata-mata menuai peristiwa Kerlap cahaya meninggi dicakrawala Semakin jauh langkahnya Seorang wanita berparas jelita Meninggalkan sunyi, berdentum lirih bersahutan ditelinga ku, lamat tak terdengar...